Friday 24 January 2014

Reinkarnasi roti bakar keju coklat

Aku pernah sekali melihat matamu, teduh dan nyaman. Seperti tenda berlapis terpal biru yang sering kali dijadikan pemberhentian utama pengendara sepeda motor yang kehujanan.

Senyummu selalu lembut, bersambung dengan pipi yang terlihat empuk. Seperti roti tawar dengan kematangan sempurna yang sering kali disantap para budak metropolitan yang tak sempat lagi menyuap nasi.

Caramu tertawa selalu terdengar gurih. Seperti bagian-bagian hangus dari roti yang telat dibalik yang sering kali dimakan pertama karena lebih kompleks rasanya.

Air matamu menerjang ekspresi masam yang kemudian bercampur sunggingan manis. Seperti lelehan parutan keju mondseer  yang sering kali meluber kemana-mana ketika gigitan pertama letaknya tak sempurna.

Kamu punya gaya bicara yang menarik. Seperti sebatang coklat murni tanpa susu yang sering kali membuat produksi air liur anak-anak sekolah berlebihan.

Aku selalu menerka-nerka jika pelukmu hangat. Seperti setangkup roti bakar keju coklat yang baru saja diangkat Mang Ronal yang sering kali kuhabiskan sedirian di depan laptop.


Mungkin kamu adalah reinkarnasi dari salah satu roti bakar keju coklat yang pernah dihidangkan Mang Ronal. Jika pun iya, aku ingin di kehidupan berikutnya menjadi sekaleng susu kental manis yang menunggu di dalam laci gerobak berwarna merah ini. Menunggu untuk menyatu denganmu di dalam menu “Roti Bakar Keju Coklat Spesial.”

Friday 10 January 2014

Puisi Berdiri

                Kamu yang terdiam bersama lembaran-lembaran kertas penuh frasa dan kalimat ambigu serba rumit. Memaku kaki di lantai keramik putih berpola sederhana yang kamu buat retak ketika sebuah sentakan palu bertemu kepala paku yang datar, lebih datar dari caramu membaca paragraf-paragraf yang terbit setiap harinya dari ujung pena yang selalu hilang sebelum tintanya terkuras habis.

                Kertas-kertas berpuisi itu memintamu untuk membacanya setiap malam, sekeras suara adzan yang rutin terdengar di mulut toa masjid di persimpangan rumahmu. Memejam menjadi isyarat ketidakan untuk permohonan mereka. Kamu membuat puisi-puisi itu bukan untuk dibaca segaduh teriakan anak jalanan yang dihujani klakson mobil mewah, atau sekeras muadzin yang bersemangat di senja pertama bulan puasa. Puisimu tak akan pernah terbaca. Kamu membuatnya hanya untuk berdiskusi dengan retakan-retakan hati, dengan kunang-kunang yang hanya terlihat indah di buku-buku bergambar, dengan setangkai mawar yang kelopaknya mulai berguguran sedikit, dengan detakan jam berbentuk persegi kecil di atas meja... tentang dia.

                Dia yang tak pernah kamu mengerti, yang sulit untuk diterka-terka seperti trik-trik pesulap jalanan di trotoar kota Sidney.

                Pada bunyi gesekan jarum jam terkecil pertama, kamu berharap dia datang, menyumpah-serapahi pada semua perasaan yang sebelumnya kalian puja hingga dia muak dan berhenti mencela, menyesali semua kebodohannya untuk percaya pada halusinasi saraf-saraf yang mengirimkan sinyal ke otaknya untuk jatuh cinta kepadamu. Kemudian kamu berikan sekotak penuh kenangan kalian selama berbulan-bulan setelah sore di mana kamu nyatakan perasaan dengan merah di muka, berisi potongan tiket-tiket bioskop yang terlipat di saku celana, struk pembelian dari berbagai minimarket di setiap sudut kota, bon pembayaran makan siang yang biasanya menebali dompet, foto-foto yang mengajarkan dunia bagaimana cara bercengkrama tanpa harus malu dipandang orang-orang dengan alis mata ditarik ke atas. Seketika memerah iris matanya karena asap dari abu yang tak habis dilalap api, karena asap dari barang-barang yang menjadi bukti kalian pernah sama-sama tergila-gila.

                Tapi, di dentangan bunyi jarum berikutnya kamu berharap dia datang, melingkarkan tangannya di pundakmu, mengamini semua doa-doa yang kamu bisikan seusai salam, dan mengajak untuk sekali lagi jatuh cinta bersama, melewati batas tertinggi, melewati batas rasa tergila-gila lebih dari orang yang pertama kali mencetuskan istilah abstrak itu. Kemudian dia membisikan ribuan janji untuk tetap berdiam dalam perasaan yang dibekukan agar tak mencair dan habis mengalir, sebelum mengecup ringan bibirmu yang sudah kering, bahkan kelenjar air liurmu pun berhenti karena senangnya.

                Puisimu hanya bisa menghiasi dinding kamar yang penuh noda kopi di sana-sini setelah setiap malam kamu guyur dengan sisa-sisa yang harusnya jadi tegukan terakhir, yang kamu rekatkan tiap sisinya dengan selotip bening, tapi tak setransparan isi kepalamu tiap kali berdiri di tengah ruang tidur berantakan itu, ketika kamu kemudian berputar-putar beberapa kali sampai menyadari kamu tak memiliki lagi spasi kosong untuk ditempeli. Puisi terakhir yang seharusnya jadi salam perpisahanmu sebelum benar-benar pergi.

                Kamu sampai harus menambah lingkaran hitam ekstra di sekeliling mata untuk mebuat pernyataan perpisahan kalian, puisi yang kamu bilang sebagai tanda terlepasnya simpul yang mengikat kata-kata takdir yang dulu sering jadi bahan obrolan serius ataupun sekedar candaan, karena tak ada yang mampu meyakinkanmu pada awalnya bahwa semua telah usai. Tak ada kata, peluk, cium, atau suara gema langkah kaki yang beranjak pergi, atau sebuah ledakan amarah yang membuatmu berubah pikiran, seperti kata ‘pergilah’ yang mungkin bisa jadi kata kunci untuk membuatmu sekali lagi berubah jadi debu dan berhenti memperjuangkan cinta, sebagai penanda dramatis bahwa sebuah akhir telah diputuskan bersama.

                Sekarang hanya tinggal kamu sendiri bersama selembar puisi yang bingung. Puisi yang hanya bisa kamu pegang erat dengan kaki masih terpaku sedari tadi. Puisi perpisahan yang hanya bisa ikut berdiri di tengah-tengah puisi kenangan. Kamu mulai menipis, kamu jadi semakin terlihat mirip dengan kertas buram. Dengan prosa romantis yang mengalir dalam darah dan menjeplak ke atas kulitmu, kamu seperti puis berdiri.