Wednesday 5 August 2015

Tiga Satu

12 April 1998

           Kucecap dalam-dalam aroma kayu jati yang ditumpuk meninggi di dalam gudang milik Koh Wen. Dengan sangat teliti, kuselusuri tiap jengkal guratan-guratan halus di permukaannya yang telah diasah penuh presisi. Sudah hampir lima jam lebih kami berdua menilik setiap blok-blok tumpukan kayu yang berjejer rapi, berurut berdasarkan jenisnya bak prajurit-prajurit zaman kolonial dahulu.

            “Elu orang nyari yang bagaimana toh sebetulnya? Tadi minta ditunjukin kayu meranti, terus pengen lihat kayu indah, pindah lagi ke kayu cendana. Kenapa nggak sekalian aja elu perhatiin itu kayu punya pori-pori pakai suryakanta?” Nampaknya Koh Wen mulai kewalahan menanggapi permintaan-permintaanku yang sedari tadi siang sudah berkunjung.

           “Sabar, Koh. Saya harus milih kayu yang benar-benar punya kualitas paling baik.”

           “Elu mau bilang gue punya kayu kualitasnya jelek-jelek semua, ha?!” Koh Wen kehilangan kesabarannya. Tangannya yang semula bersandar pada salah satu tumpukan kayu, kini berpindah bersilang di depan dada.


            “Bukan.. bukan begitu maksud saya, Koh.” Jawabku dengan sedikit canggung. Aku memutar kepala menghadap kepadanya sambil tetap berjongkok dan memegangi kayu jati yang disusun paling bawah. “Saya mau ambil yang ini saja, Koh. Ukurannya sudah dicatat Encon tadi di depan. Saya permisi dulu ya, Koh. Saya harus buru-buru kalo nggak mau ketinggalan trayek terakhir.”

            Encon, anak tertua Koh Wen yang berperawakan tinggi dengan tubuh yang padat protein. Pusat kebugarannya hanya truk dengan kontainer berisi kayu-kayu dan gudang penyimpanan seluas setengah lapangan sepak bola. Tubuhnya ditempa timbunan serat-serat kehidupan sejak kecil. Seperti jari para biksu yang mengapal karena menggerus tasbih kayu setiap hari. Encon tidak lahir begitu saja dengan “Encon” yang melekat di jidatnya sebagai identitas. Song—pohon pinus—nama yang diberikan Koh Wen untuk anak yang paling bisa diandalkannya. Lidah terbelit memang kadang membuat dahi mengernyit.

            “Gue mulai kerjain elu punya pesanan tiga hari lagi, ya. Nanti kalo elu mau liat-liat prosesnya juga boleh datang kemari. Sekitar tiga minggu lebih baru selesai. Tergantung sama cerewetnya elu gimana nanti lihat gue punya karyawan kerja.”

            “Iya, Koh. Saya nanti ke sini kalo ada waktu buat lihat-lihat.” Secepat kilat setelah salam perpisahan terucap aku berlari menyelinap diantara kerumunan-kerumunan orang yang sedang memadati jalur pedestrian di muka bangsal kayu milik Koh Wen yang akhir-akhir ini menjadi langgananku. “Bang! Tunggu saya, Bang!” Teriakku pada seorang kondektur yang hampir saja keberadaannya tak terdeteksi olehku karena tertutup kepulan asap hitam hasil pembakaran saat kendaraannya hendak melaju.

            Anak kuliahan, pegawai kantoran, pencopet, pedagang keliling, semuanya terlihat sama di mataku yang sore itu duduk di baris paling belakang. Mengamati air muka mereka yang seakan tak berdaya dan ingin menyerah saja untuk ditelan kejamnya ibu kota sebagai tumbal para petinggi yang namanya tercetak di tiap lembaran surat pencairan dana negara.

            Sepatu usangku dipaksa berjalan gontai membelah Jalan Gajah Mada, trayek yang kunaiki hari ini sedang sial-sialnya karena mengalami berbagai malfungsi pada mesinnya. Terpaksa aku harus pulang sedikit lebih larut. Mau bagaimana lagi, ongkos untuk kendaraan umum tua tadi adalah penghabisan dari tabungan yang aku punya. Sisanya sudah berpindah tangan ke Koh Wen.

            Tok.. tok.. tok..

            ”Eh, aku sudah menunggu kamu pulang dari tadi. Kenapa sampai selarut ini? Apa Koh Wen memberikan harga yang terlalu mahal? Beristirahat lah dulu, aku siapkan kopi kesukaanmu.”

            Aku benar-benar merasa pulang ke rumah. Memang tak megah, namun tinggal satu atap dengan orang yang paling bisa membuat kita bahagia tentu akan membuat kita menjadi tidak menuntut apapun sebagai pelengkap dari atap itu. Kutatap matamu yang merah dan berair akibat menahan kantuk di meja makan sambil menunggu suaminya pulang ke rumah. Lamunanku bertambah jauh ketika kuhirup asap yang membumbung dari bibir cangkir porselen buatan Belanda yang menjadi hadiah pernikahan kita dulu. Lamunanku memasuki kecepatan kuantum dan semakin menjauh dari kenyataan saat kuseruput lembut kopi yang biasa kamu sebut Koffie Verkeerd, mengingatkanku pada bulan madu kita di kampung halamanmu, dan juga pengalaman pertamaku melintasi benua yang tak akan terlupakan sedetikpun—berada di kendaraan yang tak menapak bumi selama berjam-jam. Kopi penuh ketaksaan ini berhasil mengalahkan dominasi teh Wang Laoji yang sedari kecil sudah sering dihidangkan Mama sebagai teman sarapan ataupun santap siang dan malam. Entah sihir apa yang kamu masukkan kedalamnya sehingga ada seorang Hokkian yang bukannya menyeruput teh, melaikan menikmati kopi dari Eropa sana.

            Hubungan yang terlalu mengundang banyak tanya. Bagaimana bisa seorang pria sipit bertemu wanita bermata bulat dan berwarna hijau secerah rumput? Bagaimana bisa dengan hidung minimalisnya seorang pria bertubuh kecil mencium wangi parfum dari leher bertubuh semampai dan hidung bak pinokio setengah berbohong? Selama ini semua pertayaan tentang diskriminasi fisik dan lain sebagainya selalu aku tampung dalam sebuah kotak kayu kokoh di dalam kepalaku. Menguncinya kuat-kuat agar tak sampai terpikirkan oleh otak. Kunci terapatnya tentu saja bujukanmu setiap malam sebelum tidur agar aku tak merisaukannya. Tapi jika ada yang bertanya bagaimana bisa kita saling mencinta, tentu aku tak akan sungkan menceritakannya.

            Siapa yang bisa melupakan suasana romantis yang menjadi panggung utama saat adegan pertemuan kita untuk kali pertamanya dimainkan oleh Tuhan—yang punyamu bersalib, milikku bertasbih sebesar anggur. Bulan sedang malu-malunya malam itu, menyisakan lampu minyak seadanya milik penjaga kios buah di pasar yang hanya buka dari tengah malam hingga menjelang subuh. Sesudah matahari menyergap, semua hiruk-pikuk seolah berlari ketakutan entah kemana perginya. Dini hari itu, sebuah pemandangan yang tak biasa kudapati di pasar ini sedang menjadi pusat perhatian. Bukan bukit berbaris yang ditumbuhi cemara, atau pantai berpasir putih dengan gulungan ombak kecil, bukan pula danau yang luas namun tenang tak berarus. Melainkan gabungan dari ketiganya. Rambut bergelombang tergerai indah tertarik gravitasi, senyum yang dihemat-hemat namun tetap terlihat menawan, mata lembut yang tak hanya meneduhkan tapi juga mendamaikan. Membuat siapa saja enggan untuk beranjak.

            Kamu membeli sebuah semangka bundar sempurna, mengelus-elusnya seolah itu kepala seorang anak yang baru saja mendapat nilai ulangan terbaik sekelas. Aku tak berani berkata, bahkan untuk sekedar menyapa. Hanya mematung dengan sekantong plastik apel merah menggantung.

            “Di dalam kitab agama saya, katanya apel itu buah pengetahuan. Alasan tunggal Adam dilemparkan ke Bumi. Jadi mungkin kita bisa pintar kalo banyak makan apel.” Kamu memecah hening. Sambil menolak kembalian yang kamu rasa tanggung jumlahnya, kamu membuatku jatuh cinta karena suara.

            “Di dalam kitab agama saya mungkin tidak disebutkan buah semangka, tapi saya tau kalau semangka itu sebenarnya untuk dimakan, bukan dielus-elus.” Jawaban yang tentu saja gagal untuk memikat wanita. Tapi kamu malah tertawa, melepas jubah anggun yang sedari tadi menutupi kehangatan dan aura bersahabat dari dalam dirimu.

            Dari kios buah berpindah ke gerobak sayur, setelah itu meja berpisau lebar yang berlumur darah ayam potong, selanjutnya nampan besar berisi puluhan kilo bumbu-bumbu dapur yang dipisah-pisah dengan kantung plastik kecil. Biasanya aku langsung pulang setelah membeli buah-buahan, tapi pagi itu kamu berhasil membujukku untuk menjadi market guide dadakan yang sebenarnya pun tak pernah tau letak pedagang-apa-si-penjual-apa membuka lapak. Hari itu pertamakalinya aku berharap matahari terbangun sedikit kesiangan.

           Percakapan kita berlanjut hingga ke sebuah ruang tamu di rumah berarsitektur Eropa yang terselubungi pohon-pohon rindang. Kamu menyuguhiku secangkir kecil minuman yang dari penampilannya pun tak menggugah selera. Hitam, pekat, asap mengepul di atasnya. Semula aku menduganya sebagai arang yang dicairkan. Aku lebih mengharapkan teh hijau atau semacamnya di dalam hati.

            “Kenapa? Tidak suka kopi ya?” Bukannya tidak suka atau tidak selera, masalahnya, ini kali pertama. Berkenalan dengan seorang londo yang dulu kerap ku maki-maki, berbicara tentang banyak hal sepanjang pagi, meminum suspensi yang biasanya dijadikan sesajen saat seorang paranormal—yang tidak normal—memulai ritual berpindah alamnya. Tentu saja yang aku bayangkan begitu meminum kopi ini adalah tubuh menggelepar dengan mata merah padam dan suara menggeram karena kemasukan arwah penunggu rumah ini, tapi kok... ini... eh? Kok enak?

            “Ini kok enak banget gini ya? Aku kira kopi itu rasanya kayak nyeruput arwah penasaran masuk ke dalam mulut.” Celetukku sambil menghabiskan tetes terakhir. Ada yang aneh, mana ampasnya?

           “Kamu nyari ampasnya? Masih ada kok di belakang kalo kamu mau makan.” Kamu tertawa kecil. Sedikit saja, tapi sudah bisa menerbangkan puluhan balon udara, “Kalo di Belanda kopinya nggak pake ampas. Jadi walaupun kamu belum biasa minum kopi gak usah takut keminum sama ampas-ampasnya.”

       Perkenalan hari itu ditutup oleh mendung yang tak diundang. Dipaksa bergegas pulang oleh alam memang menyebalkan. Pertemuan kita berlanjut esok paginya di tempat yang sama, kios buah pasar dini hari. Perkenalan-perkenalan lain terjadi di hari-hari berikutnya. Kopi yang kamu sajikan pun sudah bermacam-macam. Terkadang kamu bawa aku ke dapur, mengajari bagaimana cara membuatnya. Tak sampai sebulan, aku sudah hafal betul isi lemari tempat kamu menyipan kopi. Mulai dari ujung kiri: Bali Kintamani, Sirisirisi, Ciwidey, Borongborong, Mandheling, Javamocha, Kalosi, Flores Bajawa, Aceh Gayo, Wonosobo, Robusta Temanggung. Aku menghafal bak anak sekolah dasar diajari membaca. Hari-hari pertama kamu mengajariku menghafal lewat bentuknya, besar-kecil, bulat-pipih, padat-lunak. Di hari berikutnya kamu mengajakku meneliti satu persatu aroma mereka dengan hidungku yang lubangnya bahkan tak muat dimasuki ibu jari sendiri. Gelas-gelas kecil berisi seduhan berbagai jenis kopi menjadi penonton di baris depan ketika cupid melesatkan panahnya menembus dadaku. Entah berapa busur yang dia tancapkan, rasanya aku jatuh cinta berat. Padamu, dan kopi yang kamu bawa masuk ke hidupku.

      Tiga bulan berikutnya tekadku untuk menyematkan cincin emas peninggalan Nainai membulat. Aku harap Nainai tidak keberatan di alam sana jika yang memakainnya nanti bukan wanita yang dia idamkan seperti di dalam dongeng-dongeng Cina pengantar tidurku. Jelas lamaranku tak seromantis teman-teman priamu yang asal Prancis. Tanpa seikat mawar ataupun bunga lainnya, tanpa lilin-lilin wangi yang disusun cantik, tanpa wine berumur puluhan tahun. Terang saja jawabanmu di balkon rumah bernomor tiga satu itu membuatku tertunduk menangis. Ketika aku bersimpuh sambil menunjukan sebuah kotak merah berisi cincin emas tua. Seisi semesta serasa berputar. Berporos pada jawabanmu saat itu

            “Ni shi wo xihuan de jiahuo.” Jawabmu. Dengan senyum yang agak boros tak seperti biasanya. Aku masih tertunduk, mencoba mencerna lebih dalam makna ucapanmu tadi.

            “Ik hou van jou, Martha.” Kepalaku menegak, terasa sapuan tangan lembut menghentikan tangisku. Tangis seorang lelaki yang baru saja merasa menjadi sejati. “Kemarin seharian aku di perpustakaan kota. Sampai-sampai aku minta penjaganya untuk menunjukkan cara melafalkan yang benar. Ternyata kamu sudah bisa Bahasa Mandarin, tau begini tadi aku pakai wo ai ni saja tadi.” Kita sama-sama tersenyum lebar. Membentang dari Eropa sampai negeri Cina.    

            “Jadi, gimana tadi siang? Aku lihat kamu renjana sekali kali ini soal membuka usaha sendiri.” Suaramu yang lembut namun tegas membuyarkan lamunanku. Kakiku kembali menapak ke Bumi. Ruang fantasiku melebur, bersatu kembali di atas meja makan sederhana, dengan sekangkir kopi tanpa ampas. Terpaku sejenak menatap matamu yang tetap teduh meski kita sudah di tahun ke sepuluh.

            “Ah, nggak. Nasehat Koh Liu minggu lalu saat kita mampir ke kedai eskrim miliknya membuatku berpikir setiap malam untuk memulai usaha ini. Aku semenjana saja, tapi mungkin memang sudah mengalir di nadiku darah para pedagang.”

            “Kedai Eskrim Tjan Njan yang dulu hanya bisnis kecil-kecilan sekarang sudah mulai jadi langganan banyak orang dari berbagai kalangan. Pasti kamu juga mengimpikan hal yang sama kelak, kan.”

            “Tidurlah, Mar. Biar aku habiskan dulu kopi ini sampai ke dasar gelasnya. Nanti setelah itu aku menyusul.”


            Malam itu terasa lebih panjang dari malam-malam yang lain. Ketidak sabaran dan perasaan yang menggebu-gebu bersiap meledak dan melompat keluar dari dalam tubuhku. Besok pagi, akan ada sebuah toko baru yang bakal menjadi pembangun mimpi seorang pengusaha muda—sedikit masih muda.


6 comments:

  1. Bahasa nya agak berat untuk dicerna ini bang, tapi kalau bisa dicerman ceritanya enak ini. Jalan ceritanya juga agak berat, kalau gak dibaca dari awal gak tahu alur ceritanya. ya secara keseluruhannya bagus ceritanya bang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. kalo nggak dibaca dari awal membaca cepat dong namanya :)) thanks for your compliment anyway.

      Delete
  2. Replies
    1. wah, tanggal tua. tapi bukan bulan Februari, kan? :))

      Delete
  3. Mantap bi udah kayak baca novel novel di gramedia hhaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. *insert ucapan thank you tapi malu-malu in here* hahahaha

      Delete