12
April 1998
Kucecap dalam-dalam aroma kayu jati yang ditumpuk meninggi di dalam gudang milik Koh Wen. Dengan sangat teliti, kuselusuri tiap jengkal guratan-guratan halus di permukaannya yang telah diasah penuh presisi. Sudah hampir lima jam lebih kami berdua menilik setiap blok-blok tumpukan kayu yang berjejer rapi, berurut berdasarkan jenisnya bak prajurit-prajurit zaman kolonial dahulu.
Kucecap dalam-dalam aroma kayu jati yang ditumpuk meninggi di dalam gudang milik Koh Wen. Dengan sangat teliti, kuselusuri tiap jengkal guratan-guratan halus di permukaannya yang telah diasah penuh presisi. Sudah hampir lima jam lebih kami berdua menilik setiap blok-blok tumpukan kayu yang berjejer rapi, berurut berdasarkan jenisnya bak prajurit-prajurit zaman kolonial dahulu.
“Elu
orang nyari yang bagaimana toh sebetulnya? Tadi minta ditunjukin kayu meranti,
terus pengen lihat kayu indah, pindah lagi ke kayu cendana. Kenapa nggak
sekalian aja elu perhatiin itu kayu punya pori-pori pakai suryakanta?”
Nampaknya Koh Wen mulai kewalahan menanggapi permintaan-permintaanku yang
sedari tadi siang sudah berkunjung.
“Sabar, Koh. Saya harus milih kayu yang benar-benar punya kualitas paling baik.”
“Sabar, Koh. Saya harus milih kayu yang benar-benar punya kualitas paling baik.”
“Elu mau bilang gue punya kayu kualitasnya jelek-jelek semua, ha?!” Koh Wen kehilangan kesabarannya. Tangannya yang semula bersandar pada salah satu tumpukan kayu, kini berpindah bersilang di depan dada.
“Bukan..
bukan begitu maksud saya, Koh.” Jawabku dengan sedikit canggung. Aku memutar
kepala menghadap kepadanya sambil tetap berjongkok dan memegangi kayu jati yang
disusun paling bawah. “Saya mau ambil yang ini saja, Koh. Ukurannya sudah dicatat
Encon tadi di depan. Saya permisi dulu ya, Koh. Saya harus buru-buru kalo nggak
mau ketinggalan trayek terakhir.”
Encon,
anak tertua Koh Wen yang berperawakan tinggi dengan tubuh yang padat protein.
Pusat kebugarannya hanya truk dengan kontainer berisi kayu-kayu dan gudang
penyimpanan seluas setengah lapangan sepak bola. Tubuhnya ditempa timbunan
serat-serat kehidupan sejak kecil. Seperti jari para biksu yang mengapal karena
menggerus tasbih kayu setiap hari. Encon tidak lahir begitu saja dengan “Encon”
yang melekat di jidatnya sebagai identitas. Song—pohon pinus—nama yang
diberikan Koh Wen untuk anak yang paling bisa diandalkannya. Lidah terbelit memang
kadang membuat dahi mengernyit.
“Gue
mulai kerjain elu punya pesanan tiga hari lagi, ya. Nanti kalo elu mau
liat-liat prosesnya juga boleh datang kemari. Sekitar tiga minggu lebih baru
selesai. Tergantung sama cerewetnya elu gimana nanti lihat gue punya karyawan
kerja.”
“Iya,
Koh. Saya nanti ke sini kalo ada waktu buat lihat-lihat.” Secepat kilat setelah
salam perpisahan terucap aku berlari menyelinap diantara kerumunan-kerumunan
orang yang sedang memadati jalur pedestrian di muka bangsal kayu milik Koh Wen
yang akhir-akhir ini menjadi langgananku. “Bang! Tunggu saya, Bang!” Teriakku
pada seorang kondektur yang hampir saja keberadaannya tak terdeteksi olehku
karena tertutup kepulan asap hitam hasil pembakaran saat kendaraannya hendak
melaju.
Anak
kuliahan, pegawai kantoran, pencopet, pedagang keliling, semuanya terlihat sama
di mataku yang sore itu duduk di baris paling belakang. Mengamati air muka
mereka yang seakan tak berdaya dan ingin menyerah saja untuk ditelan kejamnya
ibu kota sebagai tumbal para petinggi yang namanya tercetak di tiap lembaran
surat pencairan dana negara.
Sepatu
usangku dipaksa berjalan gontai membelah Jalan Gajah Mada, trayek yang kunaiki
hari ini sedang sial-sialnya karena mengalami berbagai malfungsi pada mesinnya.
Terpaksa aku harus pulang sedikit lebih larut. Mau bagaimana lagi, ongkos untuk
kendaraan umum tua tadi adalah penghabisan dari tabungan yang aku punya.
Sisanya sudah berpindah tangan ke Koh Wen.
Tok.. tok.. tok..
”Eh,
aku sudah menunggu kamu pulang dari tadi. Kenapa sampai selarut ini? Apa Koh
Wen memberikan harga yang terlalu mahal? Beristirahat lah dulu, aku siapkan
kopi kesukaanmu.”
Aku
benar-benar merasa pulang ke rumah. Memang tak megah, namun tinggal satu atap
dengan orang yang paling bisa membuat kita bahagia tentu akan membuat kita
menjadi tidak menuntut apapun sebagai pelengkap dari atap itu. Kutatap matamu
yang merah dan berair akibat menahan kantuk di meja makan sambil menunggu
suaminya pulang ke rumah. Lamunanku bertambah jauh ketika kuhirup asap yang
membumbung dari bibir cangkir porselen buatan Belanda yang menjadi hadiah
pernikahan kita dulu. Lamunanku memasuki kecepatan kuantum dan semakin menjauh
dari kenyataan saat kuseruput lembut kopi yang biasa kamu sebut Koffie Verkeerd, mengingatkanku pada
bulan madu kita di kampung halamanmu, dan juga pengalaman pertamaku melintasi
benua yang tak akan terlupakan sedetikpun—berada di kendaraan yang tak menapak
bumi selama berjam-jam. Kopi penuh ketaksaan ini berhasil mengalahkan dominasi teh
Wang Laoji yang sedari kecil sudah
sering dihidangkan Mama sebagai teman sarapan ataupun santap siang dan malam.
Entah sihir apa yang kamu masukkan kedalamnya sehingga ada seorang Hokkian yang bukannya menyeruput teh,
melaikan menikmati kopi dari Eropa sana.
Hubungan
yang terlalu mengundang banyak tanya. Bagaimana bisa seorang pria sipit bertemu
wanita bermata bulat dan berwarna hijau secerah rumput? Bagaimana bisa dengan
hidung minimalisnya seorang pria bertubuh kecil mencium wangi parfum dari leher
bertubuh semampai dan hidung bak pinokio setengah berbohong? Selama ini semua
pertayaan tentang diskriminasi fisik dan lain sebagainya selalu aku tampung
dalam sebuah kotak kayu kokoh di dalam kepalaku. Menguncinya kuat-kuat agar tak
sampai terpikirkan oleh otak. Kunci terapatnya tentu saja bujukanmu setiap
malam sebelum tidur agar aku tak merisaukannya. Tapi jika ada yang bertanya
bagaimana bisa kita saling mencinta, tentu aku tak akan sungkan
menceritakannya.
Siapa
yang bisa melupakan suasana romantis yang menjadi panggung utama saat adegan
pertemuan kita untuk kali pertamanya dimainkan oleh Tuhan—yang punyamu
bersalib, milikku bertasbih sebesar anggur. Bulan sedang malu-malunya malam
itu, menyisakan lampu minyak seadanya milik penjaga kios buah di pasar yang
hanya buka dari tengah malam hingga menjelang subuh. Sesudah matahari
menyergap, semua hiruk-pikuk seolah berlari ketakutan entah kemana perginya.
Dini hari itu, sebuah pemandangan yang tak biasa kudapati di pasar ini sedang
menjadi pusat perhatian. Bukan bukit berbaris yang ditumbuhi cemara, atau
pantai berpasir putih dengan gulungan ombak kecil, bukan pula danau yang luas
namun tenang tak berarus. Melainkan gabungan dari ketiganya. Rambut
bergelombang tergerai indah tertarik gravitasi, senyum yang dihemat-hemat namun
tetap terlihat menawan, mata lembut yang tak hanya meneduhkan tapi juga
mendamaikan. Membuat siapa saja enggan untuk beranjak.
Kamu
membeli sebuah semangka bundar sempurna, mengelus-elusnya seolah itu kepala
seorang anak yang baru saja mendapat nilai ulangan terbaik sekelas. Aku tak
berani berkata, bahkan untuk sekedar menyapa. Hanya mematung dengan sekantong
plastik apel merah menggantung.
“Di
dalam kitab agama saya, katanya apel itu buah pengetahuan. Alasan tunggal Adam
dilemparkan ke Bumi. Jadi mungkin kita bisa pintar kalo banyak makan apel.”
Kamu memecah hening. Sambil menolak kembalian yang kamu rasa tanggung
jumlahnya, kamu membuatku jatuh cinta karena suara.
“Di
dalam kitab agama saya mungkin tidak disebutkan buah semangka, tapi saya tau
kalau semangka itu sebenarnya untuk dimakan, bukan dielus-elus.” Jawaban yang
tentu saja gagal untuk memikat wanita. Tapi kamu malah tertawa, melepas jubah
anggun yang sedari tadi menutupi kehangatan dan aura bersahabat dari dalam
dirimu.
Dari
kios buah berpindah ke gerobak sayur, setelah itu meja berpisau lebar yang
berlumur darah ayam potong, selanjutnya nampan besar berisi puluhan kilo bumbu-bumbu
dapur yang dipisah-pisah dengan kantung plastik kecil. Biasanya aku langsung
pulang setelah membeli buah-buahan, tapi pagi itu kamu berhasil membujukku
untuk menjadi market guide dadakan
yang sebenarnya pun tak pernah tau letak pedagang-apa-si-penjual-apa membuka
lapak. Hari itu pertamakalinya aku berharap matahari terbangun sedikit
kesiangan.
Percakapan kita berlanjut hingga ke sebuah ruang tamu di rumah berarsitektur Eropa yang terselubungi pohon-pohon rindang. Kamu menyuguhiku secangkir kecil minuman yang dari penampilannya pun tak menggugah selera. Hitam, pekat, asap mengepul di atasnya. Semula aku menduganya sebagai arang yang dicairkan. Aku lebih mengharapkan teh hijau atau semacamnya di dalam hati.
Percakapan kita berlanjut hingga ke sebuah ruang tamu di rumah berarsitektur Eropa yang terselubungi pohon-pohon rindang. Kamu menyuguhiku secangkir kecil minuman yang dari penampilannya pun tak menggugah selera. Hitam, pekat, asap mengepul di atasnya. Semula aku menduganya sebagai arang yang dicairkan. Aku lebih mengharapkan teh hijau atau semacamnya di dalam hati.
“Kenapa?
Tidak suka kopi ya?” Bukannya tidak suka atau tidak selera, masalahnya, ini
kali pertama. Berkenalan dengan seorang londo
yang dulu kerap ku maki-maki, berbicara tentang banyak hal sepanjang pagi,
meminum suspensi yang biasanya dijadikan sesajen saat seorang
paranormal—yang tidak normal—memulai ritual berpindah alamnya. Tentu saja yang
aku bayangkan begitu meminum kopi ini adalah tubuh menggelepar dengan mata
merah padam dan suara menggeram karena kemasukan arwah penunggu rumah ini, tapi
kok... ini... eh? Kok enak?
“Ini
kok enak banget gini ya? Aku kira kopi itu rasanya kayak nyeruput arwah
penasaran masuk ke dalam mulut.” Celetukku sambil menghabiskan tetes terakhir.
Ada yang aneh, mana ampasnya?
“Kamu nyari ampasnya? Masih ada kok di belakang kalo kamu mau makan.” Kamu tertawa kecil. Sedikit saja, tapi sudah bisa menerbangkan puluhan balon udara, “Kalo di Belanda kopinya nggak pake ampas. Jadi walaupun kamu belum biasa minum kopi gak usah takut keminum sama ampas-ampasnya.”
“Kamu nyari ampasnya? Masih ada kok di belakang kalo kamu mau makan.” Kamu tertawa kecil. Sedikit saja, tapi sudah bisa menerbangkan puluhan balon udara, “Kalo di Belanda kopinya nggak pake ampas. Jadi walaupun kamu belum biasa minum kopi gak usah takut keminum sama ampas-ampasnya.”
Perkenalan hari itu ditutup oleh mendung yang tak diundang.
Dipaksa bergegas pulang oleh alam memang menyebalkan. Pertemuan kita berlanjut
esok paginya di tempat yang sama, kios buah pasar dini hari.
Perkenalan-perkenalan lain terjadi di hari-hari berikutnya. Kopi yang kamu
sajikan pun sudah bermacam-macam. Terkadang kamu bawa aku ke dapur, mengajari
bagaimana cara membuatnya. Tak sampai sebulan, aku sudah hafal betul isi lemari
tempat kamu menyipan kopi. Mulai dari ujung kiri: Bali Kintamani, Sirisirisi,
Ciwidey, Borongborong, Mandheling, Javamocha, Kalosi, Flores Bajawa, Aceh Gayo,
Wonosobo, Robusta Temanggung. Aku menghafal bak anak sekolah dasar diajari
membaca. Hari-hari pertama kamu mengajariku menghafal lewat bentuknya,
besar-kecil, bulat-pipih, padat-lunak. Di hari berikutnya kamu mengajakku
meneliti satu persatu aroma mereka dengan hidungku yang lubangnya bahkan tak
muat dimasuki ibu jari sendiri. Gelas-gelas kecil berisi seduhan berbagai jenis
kopi menjadi penonton di baris depan ketika cupid
melesatkan panahnya menembus dadaku. Entah berapa busur yang dia tancapkan,
rasanya aku jatuh cinta berat. Padamu, dan kopi yang kamu bawa masuk ke
hidupku.
Tiga bulan berikutnya tekadku untuk menyematkan cincin emas peninggalan Nainai membulat. Aku harap Nainai tidak keberatan di alam sana jika yang memakainnya nanti bukan wanita yang dia idamkan seperti di dalam dongeng-dongeng Cina pengantar tidurku. Jelas lamaranku tak seromantis teman-teman priamu yang asal Prancis. Tanpa seikat mawar ataupun bunga lainnya, tanpa lilin-lilin wangi yang disusun cantik, tanpa wine berumur puluhan tahun. Terang saja jawabanmu di balkon rumah bernomor tiga satu itu membuatku tertunduk menangis. Ketika aku bersimpuh sambil menunjukan sebuah kotak merah berisi cincin emas tua. Seisi semesta serasa berputar. Berporos pada jawabanmu saat itu
Tiga bulan berikutnya tekadku untuk menyematkan cincin emas peninggalan Nainai membulat. Aku harap Nainai tidak keberatan di alam sana jika yang memakainnya nanti bukan wanita yang dia idamkan seperti di dalam dongeng-dongeng Cina pengantar tidurku. Jelas lamaranku tak seromantis teman-teman priamu yang asal Prancis. Tanpa seikat mawar ataupun bunga lainnya, tanpa lilin-lilin wangi yang disusun cantik, tanpa wine berumur puluhan tahun. Terang saja jawabanmu di balkon rumah bernomor tiga satu itu membuatku tertunduk menangis. Ketika aku bersimpuh sambil menunjukan sebuah kotak merah berisi cincin emas tua. Seisi semesta serasa berputar. Berporos pada jawabanmu saat itu
“Ni shi wo xihuan de jiahuo.” Jawabmu.
Dengan senyum yang agak boros tak seperti biasanya. Aku masih tertunduk,
mencoba mencerna lebih dalam makna ucapanmu tadi.
“Ik hou van jou, Martha.” Kepalaku
menegak, terasa sapuan tangan lembut menghentikan tangisku. Tangis seorang
lelaki yang baru saja merasa menjadi sejati. “Kemarin seharian aku di
perpustakaan kota. Sampai-sampai aku minta penjaganya untuk menunjukkan cara
melafalkan yang benar. Ternyata kamu sudah bisa Bahasa Mandarin, tau begini
tadi aku pakai wo ai ni saja tadi.”
Kita sama-sama tersenyum lebar. Membentang dari Eropa sampai negeri Cina.
“Jadi,
gimana tadi siang? Aku lihat kamu renjana sekali kali ini soal membuka usaha sendiri.”
Suaramu yang lembut namun tegas membuyarkan lamunanku. Kakiku kembali menapak
ke Bumi. Ruang fantasiku melebur, bersatu kembali di atas meja makan sederhana,
dengan sekangkir kopi tanpa ampas. Terpaku sejenak menatap matamu yang tetap
teduh meski kita sudah di tahun ke sepuluh.
“Ah,
nggak. Nasehat Koh Liu minggu lalu saat kita mampir ke kedai eskrim miliknya
membuatku berpikir setiap malam untuk memulai usaha ini. Aku semenjana saja,
tapi mungkin memang sudah mengalir di nadiku darah para pedagang.”
“Kedai
Eskrim Tjan Njan yang dulu hanya bisnis kecil-kecilan sekarang sudah mulai jadi
langganan banyak orang dari berbagai kalangan. Pasti kamu juga mengimpikan hal
yang sama kelak, kan.”
“Tidurlah,
Mar. Biar aku habiskan dulu kopi ini sampai ke dasar gelasnya. Nanti setelah
itu aku menyusul.”
Malam
itu terasa lebih panjang dari malam-malam yang lain. Ketidak sabaran dan
perasaan yang menggebu-gebu bersiap meledak dan melompat keluar dari dalam
tubuhku. Besok pagi, akan ada sebuah toko baru yang bakal menjadi pembangun
mimpi seorang pengusaha muda—sedikit masih muda.
Bahasa nya agak berat untuk dicerna ini bang, tapi kalau bisa dicerman ceritanya enak ini. Jalan ceritanya juga agak berat, kalau gak dibaca dari awal gak tahu alur ceritanya. ya secara keseluruhannya bagus ceritanya bang.
ReplyDeletekalo nggak dibaca dari awal membaca cepat dong namanya :)) thanks for your compliment anyway.
Delete31, tanggal lahirku :D
ReplyDeletewah, tanggal tua. tapi bukan bulan Februari, kan? :))
DeleteMantap bi udah kayak baca novel novel di gramedia hhaha
ReplyDelete*insert ucapan thank you tapi malu-malu in here* hahahaha
Delete