Thursday 27 February 2014

I am Cold, I am Zombie



“lihat deh, bukunya bagus!” perempuan dengan bola mata coklat muda bersemburat hitam iu menyodorkan sebuah buku tebal—sekitar enam ratus halaman mungkin—ke depan wajahku, mengayun-ayunkannya pelan agar aku tak segera mengambil dan membaca sinopsisnya. Dia sepertinya bisa menerka apa yang akan aku katakan jika membaca bagian belakang buku dengan sampul kombinasi warna cerah itu.

“jangan! Kalo kamu baca entar aku nggak jadi beli lagi.” Bibirnya dikatupkan kedepan, mirip gaya selfie anak-anak muda zaman sekarang.

“pasti gara-gara ada gambar menara karatan itu kan? Bukannya kamu sudah punya belasan yang seperti itu di rak bukumu? Cerita cinta dengan latar belakang Paris, apa menariknya?”

“cowok yang hatinya dingin kayak kamu gak bakal bisa ngerti soal kisah cinta yang luar biasa. Kamu taunya cuma soal darah, pisau, kaliber berlapisnya revolver, setumpuk trik pembunuhan, metode-metode deduksi, dan segala macamnya.” Caranya berbicara tak kalah cepat dari sebuah peluru yang dimuntahkan senapan laras panjang. Sambil berbalik menghadap ke deretan-deretan buku dengan tulisan ‘novel terjemahan’ di atas raknya, dia dengan nada yang ditinggikan tak henti-hentinya mengomentari selera bacaanku. Seperti sebuah jumbojet yang kehilangan tuas remnya.

“kamu itu coba deh sekali-kali baca buku yang ada kasih sayangnya. Kalo baca buku bunuh-bunuhan gitu terus, lama-lama kamu juga bisa jadi pembunuh kali.” Dia tertawa pelan sambil meremas lengan kananku. Senyumnya yang tipis terlihat mengintip dari sela pipinya yang kemerahan. Saat demam pun dia masih lebih pintar melucu dariku.

“aku sudah pernah baca buku-buku semacam itu, kok. Aku baca sampai habis bukumu yang tertinggal di jok belakang minggu lalu, tentang seorang pria yang mencoba melompat dari balkon rumahnya untuk bunuh diri tapi gagal karena bujukan seorang wanita yang bahkan belum pernah dia temui.”

“benarkah? Lalu bagaimana menurutmu ceritanya, bagus kan?” dia membalik badan. Menunggu ekspresi ketertarikan macam apa yang akan aku tunjukan.

“menurutku, kamu sengaja ninggalin buku itu biar aku baca selagi nungguin kamu pergi shopping dengan mama kamu.” dahinya mengernyit mendengar jawabanku. Dia tiba-tiba saja tertawa terbahak-bahak sambil menutupi mulutnya dengan sebelah tangan.

“kamu kenapa serius bener sih jadi cowok? Setiap hal kamu pikirin sejauh itu. Nanti otak kamu capek loh. Nanti kalo otaknya capek bisa-bisa jadi cepet tua. Hiii...” bahunya dinaikan seolah ingin menakuti. Tangannya melonggarkan sedikit ikatan dasi yang memang selalu aku pakai sampai ke atas agar terlihat rapi.

“rapi bener. Ini lagi nge-date, loh, bukan lagi nyerahin tugas kimia yang sering kamu tinggalin itu.” Tangannya lalu mengacak-acak rambutku yang masih tertata rapi untuk menghindari razia dadakan tadi pagi. Aku sedikit berputar arah menghadap jendela, mendapati siluet diriku dengan rambut mirip Gohan yang berubah menjadi Super Saiyan.

“eh, sini-sini liat deh!” tangannya—yang kontras dengan punyaku yang penuh kapal di bagian ujung jari karena terlalu sering beradu dengan dawai gitar—menarik lenganku sambil menunjuk-nunjuk sebuah buku yang sedikit mengganjal judulnya.

“ ‘when zombie went to paris, he fall in love’? Kenapa kamu selalu suka buku yang bahkan judulnya nggak masuk akal kayak gini?” Kulipat kedua tanganku di depan dada, memasang tampang berpikir namun tak terlalu dalam. Entah apa yang merasuki pengarang buku ini. Terlalu banyak aturan yang dia langgar. Terlalu banyak ketentuan yang dibelokkannya.”

“zombie mana bisa jatuh cinta. Mau mikir aja susah, apa lagi jatuh cinta.”

“cinta kan nggak butuh mikir. Butuhnya cuma perasaan doang. Makanya, kamu harus perdalam lagi soal masalah cinta-cintaan.”

“yang nama zombie itu taunya cuma makan sama makan. Buang air aja nggak kan. Mana bisa zombie ngerasain cinta lagi. Hatinya udah kering gitu.”

Berbagai komentar terlontar selama berpuluh-puluh menit dari pikiran kami. Seorang pegawai yang sedang merapikan susunan buku sampai terheran-heran dengan gelak tawa kami yang kadang tiba-tiba pecah dan memenuhi sudut toko buku yang sedang sepi itu. Jam segini memang jarang ada orang  yang pergi ke toko buku. Terlalu pagi untuk istirahat makan siang, terlalu siang untuk jam masuk pagi. Kebetulan saja guru-guru di sekolahku mengadakan rapat mendadak karena sebuah kendala serius menghambat persiapan ujian sekolah.

“kalo misalnya ada zombie beneran kamu mau ngapain?” tanyanya sambil menyandarkan punggungnya di lenganku yang sedang melamun melihat kendaraan yang berlalu-lalang.

“mungkin aku akan mengambil beberapa butir peluru yang selalu diselipkan ayah di dalam saku jas kerjanya. Jika beruntung, sekali tembakan tepat di bagian dahi.” Tanganku membentuk sebuah model handgun dan mendorong kepalanya di bagian dahi dengan telunjuk yang pura-puranya menjadi laras senjatanya.

“kalo aku, mungkin aku akan lari ke Paris. Siapa tau nanti ada zombie yang ternyata beneran bisa jatuh cinta.”

“ya, menurutku yang satu itu mungkin saja bisa terjadi.”

“bagaimana bisa?”

“aku yang berubah menjadi zombie mengejarmu hingga ke bawah Eiffel dan jatuh cinta sekali lagi denganmu.” Aku duduk bersandar di bagian samping sebuah rak buku yang menghadap ke jalanan. Dia mengikuti. Speaker di sudut ruangan sedang memaikan lagu falling in love at a coffee shop, mendadak aku jadi ingin menyeruput beberapa cangkir Espresso.

“ke seberang sana, yuk. Daripada jauh-jauh ke tempat favorit kamu itu. Kopinya sama-sama item juga kan.” Dia menarikku berdiri. Perempuan paling pengertian ini sepertinya paham betul isi kepalaku.

“nggak jadi beli buku yang zombie-zombiean tadi? Aku kira kamu suka bukunya.”

“nggak, ah. Aku beli buku yang tadi aku tunjukin ke kamu aja. Ngapain beli buku soal zombie kalo aku udah punya yang beneren di sini?” dia tertawa tertahan sambil meraih sebuah buku yang letaknya cukup tinggi.

“kamu beneran mirip zombie ya. Ketawa aja susah bener. Yang barusan itu lucu baget loh.” Godanya sambil berjalan ke arah meja kasir, meninggalkanku yang masih terpaku dengan buku berzombie tadi. Mirip ya?

When zombies are exist, and you still alive. You have two choice, to be a brave one or die as a zombie –Miss. Green (i rather to be a zombie if that can give me a chance to  falling in love with her again, Miss.)

Thursday 13 February 2014

Love is Flawed: Valentine


            Same bed but it feels just a little bit bigger now. Our song on the radio but it don't sound the same. When our friends talk about you, all it does is just tear me down, cause, my heart breaks a little when I hear your name.

            Pada awalnya, cinta menawarkan sesuatu yang begitu indah dengan investasi ringan. Cinta menawarkan hal-hal bodoh yang menyenangkan. Tertawa lepas, humor-humor garing yang memaksa untuk ditertawakan, makan siang tanpa kesepian. Semuanya berada dalam satu paket dengan syarat sederhana; hidupmu berkurang beberapa jam tiap harinya.
           
            Pada puncaknya, cinta menjadi semakin egois. Cinta menuntut banyak hal. Tapi tak lupa menepati janji awalnya. Pelukan hangat selalu tersedia kapan pun salju turun, sepasang kaki tak lagi harus lelah berjalan sendiri-sendiri, pipi yang memerah porinya selalu digenangi liur yang melekat dari candaannya untuk membujuk. Semuanya diperjual belikan dengan mata uang langka; perasaan. Semakin banyak yang kau beli, semakin banyak kehilangan dalam diri.

            Pada akhirnya, cinta bermutasi menjadi gumpalan hitam di dalam cermin. Kelamnya menutupi bagian hati yang ingin direfleksi. Gempitanya merusak keteraturan cahaya yang seharusnya bisa dengan mudah semesta belokkan. Pada akhirnya, kita semua akan sendirian di dalam gelapnya.

             I realize that I should have bought you flowers and held your hand. I should have gave you all my hours when I had the chance. And take you to every party, Cause, all you wanted to do was dance.

            Entah siapa yang memulainya, memuja cinta dengan semangat yang menggebu. Budaknya berseru mengatas namakan kasih sayang. Bersujud pada berhala berbentuk hati yang kurang realis desainnya. Kepada setiap umatnya—seolah cinta hanya turun satu kali setahun—cinta menjabat tangan mereka dan membisikkan perjanjian-perjanjian setan. Mereka lupa dengan sakitnya kehilangan. Mereka dibuat lupa akan besarnya kesakitan yang tak bisa tergantikan. Apa dunia sudah cukup bodoh untuk berubah menjadi merah muda? Menanggalkan warna hijau klasiknya dan menggunakan syal rajutan tangan dari kekasih. Motif hatinya pun tak bagus, benangnya kusut, dan warnanya memudar. Dari merah muda, menjadi merah anak-anak.


            Now my baby's dancing. But, she's dancing with another man


            Sejak dulu aku ingin menjadi cinta, mengirimkan sugesti-sugesti bodoh yang efeknya lebih kuat dari ganja, lebih candu dari marijuana. Harusnya cinta dikubur saja di Tartaros, berdampingan dengan mayat Kronos yang habis membatu. Demi petir Zeus yang tak lebih kuat dari tegangan kabel-kabel di atas tempat tidurku, aku berdoa untuk kesakitan mereka yang bercinta. Agar mereka sadar. Cinta yang membutakan, cinta yang menyumbat telinga, cinta yang memutus pita suara, cinta yang memecah tubuh menjadi berjuta-juta jaringan.