Friday 29 November 2013

November Rain



                “tekan pesan anda setelah nada berikut.”

                Bukan itu kalimat yang gue harapin dari orang yang mau gue ajak bicara di ujung telefon sana. Sudah lima belas menit, mungkin tombol dial ini udah bosan gue pencet puluhan kali sedari tadi. Mungkin, dia juga sudah bosan mendengar nada dering handphone-nya siang ini. Atau mungkin, gue sebentar lagi bakal menyerah dan ngelempar persegi panjang hitam ini ke dinding bak pitcher di pertandingan baseball yang sedang gue tonton.

                Home run. Pukulan keras dari ayunan tangan batter dengan lengan penuh lumpur itu sukses mengalihkan perhatian gue. Gak ada sorak sorai penonton yang terdengar dari televisi yang volumenya emang sengaja gue matiin. Mungkin apa yang dirasain batter nomer delapan ini sama dengan ketika beberapa bulan yang lalu, untuk pertama kalinya, gue melihat wajah Alia berubah merah padam saat mendengar pernyataan cinta. Pernyataan yang terucap begitu sulit setelah memukul jauh keluar lapangan bola gengsi. Pernyataan yang tak sebanding rumitnya dengan berlari menuju home base. Keduanya sama-sama punya rasa yang kuat untuk dicapai.

                 Siang ini atap rumah gue lagi gak bersahabat. Deruan keras yang gak karuan sedari tadi pagi masih belum berhenti juga. Beberapa selokan di deket rumah mungkin sekarang udah naik airnya. Gara-gara bedebah ini, janji makan siang gue sama Alia mesti dibatalin secara sepihak. Mau gimana lagi, rumah gue hujan deres, rumah dia panas terik kayak di Zimbabwe. Dan yang paling parah, dia ngambek. pertengkarannya emang simple; mendadak batalin rencana. Tapi, di tangan setiap cewek, hal seperti itu bisa jadi lebih ribet dari ngepang rambut Vin Diesel yang lagi balapan.

                Cewek emang gitu, medetail. Bahkan soal perkara mudah pun bisa mendetail sampe bawa-bawa nama mantan. Nyebelin iya, mau marah ntar kena counter attack. Ketika cowok udah kepancing sama upan masalah-dibelok-belokin-jadi-urusan-mantan-nya disitulah mereka bakal keluarin semua combo kesalahan-masa-lalu-yang-cowok-selalu-salah. Gue merasa salut untuk para cowok-cowok di luar sana yang bisa meredam semua emosi pasangannya.

                Di balik semua ketegaran luarbiasanya, belakangan gue baru sadar, ternyata cewek itu bakalan tetep jadi seorang cewek. Beberapa hari yang lalu gue sempet main ke rumah temen gue –Nady—yang dengan sukses membuka pikiran gue soal bagaimana sebenarnya cewek itu. Pas gue masuk ke rumahnya, Nady lagi sibuk ngelap-ngelap mata sembabnya. Dia belakangan kayaknya lagi hobi nangisin mantan. Ntahlah,mungkin gak semua orang gak suka barang kadaluarsa. Sepersekian detik setelah gue memposisika diri senyaman mungkin di sofa ruang tamunya, Nady langsung aja ngeberondong gue dengan berbagai pertanyaan. Mulai dari gimana caranya tau kalo cowoknya masih suka apa nggak ke dia sampe cara bikin mie rebus pake laptop. Sebagian besar pertanyaannya Cuma gue jawab dengan senyum. Bukanya gak mau jawab, gue Cuma gak pernah mikirin hal yang bakalan Nady tanyain ke gue ini.

                Ada yang tau kenapa cewek kalo diputusn banter bener nangisnya? Apa itu semua emang karena terlalu sayang? Ato itu wujud kekecewaannya terhadap kepercayaan yang disia-siakan? Atao malah itu Cuma bertujuan buat menarik simpati mantannya? Itu teka-teki wanita. Yang tau Cuma tuhan dan...tuhan. tapi seenggaknya gue tau, kenapa Nady nanyain soal cara nyari tau perasaan cowok. Cewek selalu ngasih harapan lebih. Sekecewa apapun mereka, mereka tetap seorang wanita yang paling bisa ngasih perasaan super tulus. Dan gue percaya, hujan di bulan November ini sebagian besar berasal dari uapan air mata kepedihan mereka yang tertahan kasih sayang.


               

Friday 8 November 2013

Kita dan delapan bulan yang lalu



Hari ini semua serba biasa. Cuma nasi goreng pake telur setengah mateng ini yang spesial. Selebihnya biasa. Kantin sekolah jarang bisa sesepi ini. Untuk makan dengan tanpa beradu siku saja memang sulit di sini jika sedang jam-jam padatnya. Lain ceritanya dengan sekarang. Gue memutuskan untuk sarapan di bagian ter”surga” ini sekitar jam setengah tujuh. Empat puluh lima menit sebelum bel masuk. Jam segini kantin Cuma diisi beberapa siswa kelewat rajin. Gue curiga, jangan-jangan mereka digaji buat bukain gerbang sekolah tiap subuh.

Jadilah gue di sini, meratapi nasi goreng yang sudah termakan separuhnya, sambil baca-baca materi pelajaran pertama hari ini. bukannya rajin, gue butuh media pengalihan dari penjaga-penjaga stand yang sejak tadi mondar-mandir di depan gue. Maklum, jam segini semua masih pada siap-siap mau jualan. Gue berhenti makan sejenak untuk ngebalik halaman buku catatan kimia. Masih angka-angka. Sebelum  suapan ke-14 gue pagi itu, Feri, temen gue yang paling homo, deketin meja tempat gue makan sambil ngibas-ngibasin selembar kertas di tangannya. Mukanya masih kusut. celana abu-abu kebesarannya yang hampir mirip rok dibelah dua itu cukup menyita perhatian.

“ada festival nih. Gue lagi butuh personil tambahan. Acaranya tanggal 14 besok. Gimana? Kita main berempat. Gue rencananya mau ngajak Vina sama Dika juga. Gue jadi drum, elu bass, Dika Gitar. Vina katanya tergantung lagu mau main keyboard apa gitar. Eh, vokalnya dia juga.”

Gue mengangguk. Mengiyakan ajakannya yang saat itu lebih mirip presenter di inovation store. Sayang, gue lupa satu hal pas mengiyakan ajakan dia barusan. Satu-satunya skill yang gue punya Cuma main tamagochi­ sambil minum susu coklat dari idung. Dan gue tau pasti, itu gak bakalan kepake di acara festival nanti.

Sorenya gue nungguin Feri di teras rumah. Dia janji mau jemput sekitar jam tiga. Ntah jam gue yang salah ato kita berdua hidup di benua yang berbeda, Gue sama Feri baru berangkat dari rumah ke studio sekitar jam empat. Begitu sampai di studio, gue disambut sebuah jabatan tangan bersahabat dari cewek berambut hitam lurus sebahu yang sepersekian detik setelahnya gue tau pasti siapa dia. Dia adalah karakter yang gambarkan Feri tadi pagi lewat sebuah nama. Vina. Matanya yang bulat namun tajam mungkin satu-satunya hal yang bisa gue deskripsikan dari dia dengan kata-kata. Selebihnya, ah ntah lah.  Ada yang tau kata yang lebih dari indah?

“dika nggak bisa ikut. Dia mesti latihan buat LCC lusa.”

“jadi? Cuma bertiga? Masa Cuma gue, lo, sama...”

Gue mengucap ringan nama panggilan gue setelah menangkap maksud kode darinya. My first fault, lupa nyebutin nama pas kenalan. Satu jam selanjutnya kami abisin buat bercengkrama dengan musik. Sedikit agak mepet memang. Band baru kami bentuk dua minggu sebelum acara. Sampai saat ini gue masih ingat detail dari satu jam pertama gue dengan Vina. Gue mash inget nama studionya, gue masih inget kaos item gue yang waktu itu basah oleh keringat dingin, gue masih inget kaos putih tangan panjangnya yang dilipat sedikit di bagian ujung, gue masih inget Feri lupa naikin resleting celananya, gue masih inget gimana Vina pertama kali ngucapin nama gue dengan suaranya yang mirip kokain buat gue. Penuh candu.

Dua minggu setelahnya, Gue, Vina, Feri, ditambah Lino, kakak kelas yang gantiin posisi Dika, berdiri sejajar di atas panggung SMA 3 Nusantara. Sedikit basa-basi dan salam hormat sebelum kami menyuguhkan semua dua minggu ke belakang. Buat gue, dua minggu kebelakang isinya Cuma Vina semua. Gak ada yang lain.

Yang namanya kalah ya tetep aja kalah. Kecewa memang. Tapi mau gimana lagi. Paling nggak bisa dapet pengalaman dan pelajaran dari kerja keras yang sekarang terlihat cukup sia-sia. Menurut gue, pelajaran terbaiknya itu gue jadi tau, kalo gue perlahan-lahan punya feeling ke Vina. Kenapa lagi-lagi dia? Apa konspirasi alam semesta buatan Tuhan ini sebegitu hebatnya? Apa Feri adalah malaikan pencabut nyawa yang dialihfungsikan Tuhan untuk mempertemukan gue sama Vina?
 
Sebulan lebih semenjak jabat tangan pertama gue dan Vina, sekarang keadaan sudah mulai berbeda. Ada beberapa hal yang sekarang sedikit lebih rumit, seperti menutup telfon selamat malam dan ucapan sayangnya yang pertama. What a lovely day. Lucu mengingat angka delapan yang menjadi angka favorit gue sejak dulu, sekarang ikut-ikutan menjadi angka di kalender yang harus gue inget setiap bulannya.

Itu cerita delapan bulan yang lalu. Selanjutnya?