Hari ini semua
serba biasa. Cuma nasi goreng pake telur setengah mateng ini yang spesial. Selebihnya
biasa. Kantin sekolah jarang bisa sesepi ini. Untuk makan dengan tanpa beradu
siku saja memang sulit di sini jika sedang jam-jam padatnya. Lain ceritanya dengan
sekarang. Gue memutuskan untuk sarapan di bagian ter”surga” ini sekitar jam
setengah tujuh. Empat puluh lima menit sebelum bel masuk. Jam segini kantin Cuma
diisi beberapa siswa kelewat rajin. Gue curiga, jangan-jangan mereka digaji
buat bukain gerbang sekolah tiap subuh.
Jadilah gue di
sini, meratapi nasi goreng yang sudah termakan separuhnya, sambil baca-baca materi pelajaran pertama hari ini. bukannya rajin, gue butuh media pengalihan dari penjaga-penjaga stand yang sejak tadi mondar-mandir di depan gue. Maklum, jam segini semua masih pada siap-siap mau jualan. Gue berhenti makan
sejenak untuk ngebalik halaman buku catatan kimia. Masih angka-angka. Sebelum suapan ke-14 gue pagi itu, Feri, temen gue
yang paling homo, deketin meja tempat gue makan sambil ngibas-ngibasin
selembar kertas di tangannya. Mukanya masih kusut. celana abu-abu kebesarannya yang hampir mirip rok dibelah dua itu cukup menyita perhatian.
“ada festival
nih. Gue lagi butuh personil tambahan. Acaranya tanggal 14 besok. Gimana? Kita main
berempat. Gue rencananya mau ngajak Vina sama Dika juga. Gue jadi drum, elu
bass, Dika Gitar. Vina katanya tergantung lagu mau main keyboard apa gitar. Eh, vokalnya dia juga.”
Gue mengangguk.
Mengiyakan ajakannya yang saat itu lebih mirip presenter di inovation store. Sayang, gue lupa satu
hal pas mengiyakan ajakan dia barusan. Satu-satunya skill yang gue punya Cuma main
tamagochi sambil minum susu coklat dari idung. Dan gue tau pasti, itu gak bakalan kepake di acara festival nanti.
Sorenya gue
nungguin Feri di teras rumah. Dia janji mau jemput sekitar jam tiga. Ntah jam
gue yang salah ato kita berdua hidup di benua yang berbeda, Gue sama Feri baru berangkat dari
rumah ke studio sekitar jam empat. Begitu sampai di studio, gue disambut sebuah
jabatan tangan bersahabat dari cewek berambut hitam lurus sebahu yang sepersekian detik setelahnya gue tau
pasti siapa dia. Dia adalah karakter yang gambarkan Feri tadi pagi lewat sebuah
nama. Vina. Matanya yang bulat namun tajam mungkin satu-satunya hal yang bisa gue deskripsikan dari dia dengan kata-kata. Selebihnya, ah ntah lah. Ada yang tau kata yang lebih dari indah?
“dika nggak bisa
ikut. Dia mesti latihan buat LCC lusa.”
“jadi? Cuma bertiga?
Masa Cuma gue, lo, sama...”
Gue mengucap
ringan nama panggilan gue setelah menangkap maksud kode darinya. My first fault, lupa nyebutin nama pas
kenalan. Satu jam selanjutnya kami abisin buat bercengkrama dengan musik. Sedikit
agak mepet memang. Band baru kami bentuk dua minggu sebelum acara. Sampai saat
ini gue masih ingat detail dari satu jam pertama gue dengan Vina. Gue mash
inget nama studionya, gue masih inget kaos item gue yang waktu itu basah oleh
keringat dingin, gue masih inget kaos putih tangan panjangnya yang dilipat sedikit
di bagian ujung, gue masih inget Feri lupa naikin resleting celananya, gue
masih inget gimana Vina pertama kali ngucapin nama gue dengan suaranya yang
mirip kokain buat gue. Penuh candu.
Dua minggu
setelahnya, Gue, Vina, Feri, ditambah Lino, kakak kelas yang gantiin posisi
Dika, berdiri sejajar di atas panggung SMA 3 Nusantara. Sedikit basa-basi dan
salam hormat sebelum kami menyuguhkan semua dua minggu ke belakang. Buat gue,
dua minggu kebelakang isinya Cuma Vina semua. Gak ada yang lain.
Yang namanya
kalah ya tetep aja kalah. Kecewa memang. Tapi mau gimana lagi. Paling nggak
bisa dapet pengalaman dan pelajaran dari kerja keras yang sekarang terlihat cukup sia-sia. Menurut gue,
pelajaran terbaiknya itu gue jadi tau, kalo gue perlahan-lahan punya feeling
ke Vina. Kenapa lagi-lagi dia? Apa konspirasi alam semesta buatan Tuhan ini sebegitu hebatnya? Apa Feri adalah malaikan pencabut nyawa yang dialihfungsikan Tuhan untuk mempertemukan gue sama Vina?
Sebulan lebih
semenjak jabat tangan pertama gue dan Vina, sekarang keadaan sudah mulai
berbeda. Ada beberapa hal yang sekarang sedikit lebih rumit, seperti menutup
telfon selamat malam dan ucapan sayangnya yang pertama. What a lovely day. Lucu mengingat angka delapan yang menjadi angka
favorit gue sejak dulu, sekarang ikut-ikutan menjadi angka di kalender yang
harus gue inget setiap bulannya.
Itu cerita
delapan bulan yang lalu. Selanjutnya?
No comments:
Post a Comment