Sunday, 27 October 2013

Oktober sedikit mendung

27 Oktober  2005

Berbeda dengan delapan bulan lain yang telah lalu, oktober kali ini lebih banyak menyuguhkan cerita. Padahal sebagian besar harinya gue lalui dengan tidur, tapi gue tetap bisa menarik berbagai kesimpulan dari beberapa kejadian di tiap oktober tahun ini. Gue gak ngomongin soal kejadian yang berbau politik atau hukum, bukan juga soal anak belum puber yang abis tumburan. Ini lebih kurang soal beberapa patahan di organ yang ambigu; hati.

Yup, lagi-lagi gue ngomongin soal masalah putus-memutus hubungan. Karena emang kayaknya hal ini yang terjadi di sekitar gue. Atau mungkin, imajinasi udah nge-blur­-in semua masalah yang baik-baik dari mata gue. Dari sekian banyak pesan hitam di bulan Oktober, satu yang cukup menyita perhatian gue. Sebuah pesan pelajaran dari sepasang kekasih yang terpaut jarak usia. Waktu menjadi dinding abadi untuk mereka.


23 Oktober 2005

“kak, masih lama jemputnya? Aku pulang sendiri aja ya.”

Telinga gue menangkap sebuah gelombang suara super merdu yang seketika membuyarkan lamunan gue. Gue menoleh sedikit ke samping, tetap berhati-hati agar pemilik suara tadi nggak merasa diliatin cowok dengan air muka semi-mesum. Sepersekian detik setelah gue ngeliat mukanya gue langsung inget kalo gue ketemu dia di sini kemarin. Ini kedua kalinya gue ketemu dengan mahasiswi ekstra unyu ini di halte bus deket sekolah. Dari tingkat ketebalan buku yang dia dekap di dadanya, pasti anak kedokteran. Dan dari nada bicara dia yang komposisi semangat hidupnya masih banyak, pasti baru semester awal. Mungkin sekitar 19 atau 20 tahunan.

Bus yang gue tunggu udah keliatan dari jauh. Makin lama maikin dekat, sampe bus itu udah benar-benar berenti secara total. Pintunya pas baget berenti di depan gue. Sebagai pelajar teladan, gue melompat masuk ke dalem bus yang masih sesak peuh penumpang yang mau turun. Alhasil, gue kalah badan sama mereka yang sukses nyeret gue balik keluar bus. Gue nyerah. Gue memilih untuk masuk belakangan. Ternyata gue satu bus sama cewek tadi. Sebelahan pula. Dia duduk di deket kaca, sementara gue duduk di undakan depan pintu. Nggak, maksudnya gue duduk di kursi deket jalan di sebelahnya. Posisi gue cukup dekat untuk mendengar semua keluh kesah yang coba dia ungakpin ke orang yang gue tebak adalah pacarnya. Sepanjang jalan dia Cuma monolog sama kaca bus yang sedikit burem setelah beberapa kali dikerok pake benda tajam untuk ngilangin bekas-bekas coretan tipex seniman pelajar yang over-kreatif. Dan selama perjalanan itu pula gue menjadi pendengar secara diam-diam.

Dia memulai sesi curhatnya, persis dengan ibu-ibu gaul yang mau curhat dengan mama dedeh. Bedanya, dia gak teriak “curhat dong, jok!” ke kursi di depannya yang dia jadiin samsak pukulan combo galaunya. Dia mengeluh soal keseriusan pacarnya yang menurut dia kelewat batas. Gue sempat berfikir kalo dia udah mau dilamar pas masih SMP, tapi gue langsung buru-buru mikirin hal lain. Cowoknya ini menurut dia terlalu hyper-super-protective. Bahkan sore ini dia harus rela pulang naik bus umum plus duduk di sebelah pelajar autis yang ngelamun sepanjang jalan gara-gara cowoknya gak ngebolehin dia pulang sama temennya. Temen cowoknya, dia nambahin. In antoher moment, mereka bahkan pernah berantem di lobby bioskop gegara cewek malang ini gak kunjung ngenalin pacarnya ke orang tuanya.


18 Oktober 2005

                Lorong dengan banyak bingkai poster yang tergantung di sisi-sisinya itu tak lagi hening. Sebuah pertengkaran (bersuara) kecil mendadak pecah secara diam-diam di salah satu sudutnya.

“jadi, kapan kamu mau kenalin aku sama orang tua kamu?”

“kenapa sih mesti ngebahas ini mulu tiap kali ketemu? Kamu kan tau kalo aku udah bawa kamu ke rumah, berarti aku udah serius sama hubungan.”

“emang seharusnya kamu serius dengan ‘kita’ kan? “

“maksudnya married, kak. Adat keluarga aku beda dengan kamu. Di keluarga aku, kalo udah kenalin pacar ke rumah, berarti dia udah siap ke tahap selanjutnya.”

“bukannya emang itu tujuan kita? Aku udah siap kok. Aku udah mapan. Aku kurang apa buat kamu?”

“aku yang belum siap. Aku yang kurang buat kamu. Lagian aku masih harus belajar. Aku masih punya beberapa semester lagi buat diselesaiin. Aku juga udah punya rencana buat ngambil S2. Lagi pula, aku belum terlalu serius sekarang.”

“tapi aku serius. Bukannya tujuan kamu nerima pernyataan cinta aku dua tahun lalu itu untuk serius? Lalu untuk apa selama ini kalau bukan untuk serius?”

have fun?

aku ngerasa bodoh udah kemakan semua omongan kamu. Sudahlah.”

“eh, mau kemana?”

“mau cari yang lebih serius.”

“terus filmnya? Aku udah lama pengen nonton Harry Potter yang ini. Goblet of Fire kata temen-temen aku lebih seru dari yang sebelumnya.”

“kamu emang gak pernah bisa serius ya?”

“....”

Setiap pasangan biasanya memulai suatu hubungan dengan tujuan have fun. Cuma kadang di tengah-tengah cerita, sejalan dengan waktu, salah satu dari mereka mulai kehilangan fun sense-nya dan perlahan lahan mengikuti perasaan untuk menjadi lebih dewasa dengan hubungan. Dengan kata lain, they lost their funny moment when the serious one start speaking about his opinion. Hubungan beda usia salah gak? Itu yang sekarang lagi gue coba untuk cari tau.


27 Oktober 2005
            
    “ngelamun mulu. Mikirin apa sih? Kok diem?”
          
      Suara melodis itu lagi-lagi ngebuyarin imajinasi super gue dengan pertanyaan yang gak mungkin gue jawab dengan jujur. Paling banter juga Cuma jawab ‘gak ada’ kayak biasa tiap gue ketangkep lagi ngelamun di deket dia. Ya mana mungkin gue bilang ‘lagi ngelamunin cara kamu ditinggalin mantan kamu pas di bioskop kemaren.’ Bisa-bisa sekarang gantian gue yang ditinggalin dia.

No comments:

Post a Comment