Gue lagi duduk-duduk di salah
satu sudut lapangan basket-yang-sedikit-berlubang di sekolah gue. Di sekitar
lapangan basket emang ada beberapa pohon gede yang sengaja ditanem buat sekedar
tempat senderan ato ngobrol-ngobrol ngaco sama temen sebaya. Tapi kalo hari
minggu gini, biasanya jadi tempat istimewa anak basket buat nebar percikan
keringetnya pas lagi break. Bukan, gue bukan sedang beristirahat, gue
juga nggak keringetan. Sekarang pukul 8, masih terlalu pagi memang untuk hari
minggu, tapi, di sinilah gue sekarang, alih-alih bermain basket, gue malah
duduk ngelamun. Tujuan gue ke sini jam 7 dini hari tadi emang bukan buat main
basket. Lalu apa? Gue bukan sekedar duduk manis kayak PNS lagi diliatin bos-nya
pas kerja, gue duduk di sini untuk mencari ilham, pencerahan. Atau lebih
tepatnya; ngelamun.
Sesekali pohon tua di dekat
gue duduk berdesis seiring dengan angin minggu pagi. Ngantuk. Gue mecoba untuk
tetap terjaga. Merem sedikit, bisa-bisa kepala gue jadi sasaran tembak anak
basket yang lagi latian. Dari kejauhan, gue liat pintu aula sekolah sedikit
menganga, ada sedikit celah kecil untuk mereka yang ingin tau siapa pemilik
sepatu merah muda yang tergeletak tak beraturan di depannya. Pintu aula ini
berada di sebelah kiri koridor sempit antara gedung aula itu sendiri dengan
gedung kelas. Berhadapan dengan pintu aula, sebuah pintu besar
yang-biasa-gue-sebut-gerbang-surga juga nggak kekunci. Mata gue berbinar begitu
liat pintu kantin kebuka, menerka-nerka siapa yang jualan minggu pagi gini.
Dengan semangat, layaknya pasangan insecure yang lagi stalking timeline
pacarnya, gue beranjak dari tempat gue duduk dan melangkah penuh ke-kepo-an.
Langkah gue terhenti sejenak begitu berdiri di antara kedua pintu di koridor
ini. Gue memilih untuk melihat pemilik sepatu merah muda tadi.
Gue nyembulin sebagian kepala
gue ke dalam. sesosok perempuan sedang duduk rapi sendirian. Iya, sendirian.
Dia duduk di salah satu kursi yang sebelumnya dipake buat lomba LCC. Dia sedang
membaca buku, dari beberapa kali tarikan otot pipi yang mengukir lengkungan
manis di bibirnya, mungkin novel komedi atau percintaan. Yang jelas pasti bukan
buku pelajaran. Gue coba dekati dia, mastiin kalo kakinya nggak melayang.
Begitu sadar ada orang yang deketin, dia bilang “mas, tolong bikinin
cappucinno dong, pake es dikit aja ya.” Dia ngomong tanpa menggeser
sedikitpun bola matanya dari barisan kata-kata di buku dengan sampul hijau itu.
Wajar kalo dia ngira gue mas-mas yang jualan di kantin belakang. Mungkin bau
badan gue kayak sabun cuci piring. Gue
masih belum bilang sepatah katapun dari tadi, masih sedikit shock. Gue keluar menuju kantin, ntah
apa yang gue lakuin, seolah kehilangan akal, gue bikinin es cappucino pesenan
dia.
Gue taro pesenannya di atas
meja yang dia pake buat baca. Sekarang posisi bacanya pindah dari yang
sebelumnya menunduk di atas meja, menjadi bersandar di kursi. Dencingan ketika
gelas dan meja beradu membuat dia menurunkan sedikit bukunya, mungkin niat
awalnya untuk berterima kasih, tapi kami Cuma sama-sama terdiam menikmati
situasi paling awkward ini. Beberapa menit selanjutnya, kami saling
melontarkan kata maaf dan pemakluman. Lucunya, kami belum berkenalan
sejauh ini.
Setelah obrolan panjang, gue
tau kalo namanya Tiara. Anak pindahan yang baru masuk senin besok. Dia lagi
nungguin guru yang ngambilin seragam buat dia. Katanya, guru yang ngurusin
seragamnya ini lagi ngambil kunci ke rumah penjaga sekolah di belakang. Gue
putusin buat nemenin dia nunggu ibu guru yang ntah kemana gak balik-balik ini. Lumayan
lama kami berdua nunggu di aula yang lumayan gede ini. Dia juga sudah ngabisin
beberapa bab di novelnya. Sebelum bab terakhir selesai dia tuntasin, suara
langkah terdengar mendekati pintu aula. Why
god? Give me a little more time to have a chat with her.
Gue sedikit bersyukur ketika
baju yang dibawain guru tadi kegedean. Alhasil, beliau mesti sprint balik ke ruang OSIS tempat
beberapa baju seragam lain disimpan. Sebenernya gue mau bantuin, sayang, hari
itu, ntah kenapa gue ngerasa lebih tepat untuk nemenin dia aja. Selain males
bolak-balik dengan jarak yang cukup kentang, gue ngerasa ini jawaban doa gue
dari Tuhan. Gak boleh disia-siain. Setelah urusan dia selesai, gue ajak dia
makan siang di sebuah sudut kafe favorit gue buat menerima wahyu dari tuhan
buat nulis. Kebetulan, dia tadi dianterin supir pribadinya yang sekarang lagi
ngantri di pom bensin. Awalnya gue mau nganterin dia pulang langsung, tapi dia
belum berani kalo cowok yang nganterin. Tipikal cewek rumahan.
Sepanjang jalan kita ngobrolin
banyak hal, mulai dari kopi, buku, sampe pembantu rumah dia yang lagi LDR sama
pacarnya di kampung. Obrolan ini terus berlanjut saat kita di dalem kafe. Di
meja nomer delapan. Meja yang paling deket sama coffee maker ini jadi
tempat relaksasi paling ampuh. Aroma berbagai macam biji kopi mungkin alasan
utama gue suka meja ini. Sofa merah panjang yang merapat ke dinding ini jadi
bantalan langganan pantat gue tiap kali otak gue mampet. kalo udah duduk di
sini, gue bisa mikir selancar koneksi internet di warnet deket rumah yang sering
gue bobol bandwidth-nya. Mungkin emang bener kalo temen gue pada sering
bilang otak gue salah posisi. Dan siang itu, dia duduk di hadapan gue yang gak
bisa berhenti senyum-senyum sendiri.
Setelah memakan habis
beberapa topik pembicaraan yang udah kemana-mana arahnya, kami mendadak
sama-sama terdiam. Dia kembali membuka novelnya yang sedari tadi tak terbuka
sedikitpun. Gue? gue masih sibuk ngeliatin dia sambil pura-pura baca komik yang
baru gue beli kemaren siang. Menjelang sore, dia menelfon supir pribadinya,
minta jemput di sebuah halte bus yang berjarak beberapa blok dari kafe ini.
Sebelum pulang, kami sama-sama meneguk cepat sisa minuman masing-masing,
secangkir cappucinno hangat dan kopi aceh dengan aroma khasnya waktu itu. Di
jalan pulang, obrolan kami mulai menghangat kembali, namun sedikit bergeser.
Sedikit bergesekan dengan masalah yang seharusnya menimbulkan canggung untuk
dua orang yang baru saja berkenalan lima jam yang lalu, tapi tidak untuknya.
Sepanjang jalan pulang, kami membicarakan komitmen.
Dari kejauhan sebuah honda
civic hitam terlihat terparkir rapi di seberang halte bus. Pasti itu tiket
pulangnya. Gue menepikan mobil ke sisi lain jalan. Jalan utama ini dibatasi
bagian tengahnya, jadi nggak mungkin untuk gue nurunin dia di seberang jalan
tempat sopirnya nunggu. Lagi pula, jalanan terlihat senggang waktu itu. Tak
sulit untuk seorang perempuan menyeberanginnya dengan anggun. Setelah mobil
berhenti total, dia mengucapkan terima kasih dan beberapa salam perpisahan yang
gue hiraukan. Sebelum perpisahan pertama kami, kami saling bertukar aroma kopi
yang kami seruput sore tadi. Dengan sebuah kecupan hangat, perpisahan pertama
kami terasa seperti kopi. Sedikit pahit, namun ada rasa lain yang
menyelimutinya. Rasa yang manis seperti gula, dan gurih seperti creamer.
Sama seperti bergelas-gelas
kopi yang kami habiskan bersama beberapa hari setelahnya, sebuah perasaan
adiktif mulai terasa antara kami. Rasa rindu yang berkali-kali ingin diseduh,
rasa khawatir yang berkali-kali ingin di aduk, rasa cinta yang berkali-kali
ingin diteguk bersama. Semenjak bertemu dia, gue selalu berterima kasih kepada
Tuhan, untuk rasa adiktif pada kopi dan cinta yang diciptakannya.
the best part yang paling ngena "Sama seperti bergelas-gelas kopi yang kami habiskan bersama beberapa hari setelahnya, sebuah perasaan adiktif mulai terasa antara kami. Rasa rindu yang berkali-kali ingin diseduh, rasa khawatir yang berkali-kali ingin di aduk, rasa cinta yang berkali-kali ingin diteguk bersama. Semenjak bertemu dia, gue selalu berterima kasih kepada Tuhan, untuk rasa adiktif pada kopi dan cinta yang diciptakannya." :)
ReplyDeletetenang, senja harus tenang. jangan langsung kangen pacar, eh :'p
Delete