Sunday 13 October 2013

cinta dan perasaan adiktif lainnya



Gue lagi duduk-duduk di salah satu sudut lapangan basket-yang-sedikit-berlubang di sekolah gue. Di sekitar lapangan basket emang ada beberapa pohon gede yang sengaja ditanem buat sekedar tempat senderan ato ngobrol-ngobrol ngaco sama temen sebaya. Tapi kalo hari minggu gini, biasanya jadi tempat istimewa anak basket buat nebar percikan keringetnya pas lagi break. Bukan, gue bukan sedang beristirahat, gue juga nggak keringetan. Sekarang pukul 8, masih terlalu pagi memang untuk hari minggu, tapi, di sinilah gue sekarang, alih-alih bermain basket, gue malah duduk ngelamun. Tujuan gue ke sini jam 7 dini hari tadi emang bukan buat main basket. Lalu apa? Gue bukan sekedar duduk manis kayak PNS lagi diliatin bos-nya pas kerja, gue duduk di sini untuk mencari ilham, pencerahan. Atau lebih tepatnya; ngelamun.

Sesekali pohon tua di dekat gue duduk berdesis seiring dengan angin minggu pagi. Ngantuk. Gue mecoba untuk tetap terjaga. Merem sedikit, bisa-bisa kepala gue jadi sasaran tembak anak basket yang lagi latian. Dari kejauhan, gue liat pintu aula sekolah sedikit menganga, ada sedikit celah kecil untuk mereka yang ingin tau siapa pemilik sepatu merah muda yang tergeletak tak beraturan di depannya. Pintu aula ini berada di sebelah kiri koridor sempit antara gedung aula itu sendiri dengan gedung kelas. Berhadapan dengan pintu aula, sebuah pintu besar yang-biasa-gue-sebut-gerbang-surga juga nggak kekunci. Mata gue berbinar begitu liat pintu kantin kebuka, menerka-nerka siapa yang jualan minggu pagi gini. Dengan semangat, layaknya pasangan insecure yang lagi stalking timeline pacarnya, gue beranjak dari tempat gue duduk dan melangkah penuh ke-kepo-an. Langkah gue terhenti sejenak begitu berdiri di antara kedua pintu di koridor ini. Gue memilih untuk melihat pemilik sepatu merah muda tadi.

Gue nyembulin sebagian kepala gue ke dalam. sesosok perempuan sedang duduk rapi sendirian. Iya, sendirian. Dia duduk di salah satu kursi yang sebelumnya dipake buat lomba LCC. Dia sedang membaca buku, dari beberapa kali tarikan otot pipi yang mengukir lengkungan manis di bibirnya, mungkin novel komedi atau percintaan. Yang jelas pasti bukan buku pelajaran. Gue coba dekati dia, mastiin kalo kakinya nggak melayang. Begitu sadar ada orang yang deketin, dia bilang “mas, tolong bikinin cappucinno dong, pake es dikit aja ya.” Dia ngomong tanpa menggeser sedikitpun bola matanya dari barisan kata-kata di buku dengan sampul hijau itu. Wajar kalo dia ngira gue mas-mas yang jualan di kantin belakang. Mungkin bau badan gue kayak sabun cuci piring.  Gue masih belum bilang sepatah katapun dari tadi, masih sedikit shock. Gue keluar menuju kantin, ntah apa yang gue lakuin, seolah kehilangan akal, gue bikinin es cappucino pesenan dia.

Gue taro pesenannya di atas meja yang dia pake buat baca. Sekarang posisi bacanya pindah dari yang sebelumnya menunduk di atas meja, menjadi bersandar di kursi. Dencingan ketika gelas dan meja beradu membuat dia menurunkan sedikit bukunya, mungkin niat awalnya untuk berterima kasih, tapi kami Cuma sama-sama terdiam menikmati situasi paling awkward ini. Beberapa menit selanjutnya, kami saling melontarkan kata maaf dan pemakluman.  Lucunya, kami belum berkenalan sejauh ini.

Setelah obrolan panjang, gue tau kalo namanya Tiara. Anak pindahan yang baru masuk senin besok. Dia lagi nungguin guru yang ngambilin seragam buat dia. Katanya, guru yang ngurusin seragamnya ini lagi ngambil kunci ke rumah penjaga sekolah di belakang. Gue putusin buat nemenin dia nunggu ibu guru yang ntah kemana gak balik-balik ini. Lumayan lama kami berdua nunggu di aula yang lumayan gede ini. Dia juga sudah ngabisin beberapa bab di novelnya. Sebelum bab terakhir selesai dia tuntasin, suara langkah terdengar mendekati pintu aula. Why god? Give me a little more time to have a chat with her.

Gue sedikit bersyukur ketika baju yang dibawain guru tadi kegedean. Alhasil, beliau mesti sprint balik ke ruang OSIS tempat beberapa baju seragam lain disimpan. Sebenernya gue mau bantuin, sayang, hari itu, ntah kenapa gue ngerasa lebih tepat untuk nemenin dia aja. Selain males bolak-balik dengan jarak yang cukup kentang, gue ngerasa ini jawaban doa gue dari Tuhan. Gak boleh disia-siain. Setelah urusan dia selesai, gue ajak dia makan siang di sebuah sudut kafe favorit gue buat menerima wahyu dari tuhan buat nulis. Kebetulan, dia tadi dianterin supir pribadinya yang sekarang lagi ngantri di pom bensin. Awalnya gue mau nganterin dia pulang langsung, tapi dia belum berani kalo cowok yang nganterin. Tipikal cewek rumahan.

Sepanjang jalan kita ngobrolin banyak hal, mulai dari kopi, buku, sampe pembantu rumah dia yang lagi LDR sama pacarnya di kampung. Obrolan ini terus berlanjut saat kita di dalem kafe. Di meja nomer delapan. Meja yang paling deket sama coffee maker ini jadi tempat relaksasi paling ampuh. Aroma berbagai macam biji kopi mungkin alasan utama gue suka meja ini. Sofa merah panjang yang merapat ke dinding ini jadi bantalan langganan pantat gue tiap kali otak gue mampet. kalo udah duduk di sini, gue bisa mikir selancar koneksi internet di warnet deket rumah yang sering gue bobol bandwidth-nya. Mungkin emang bener kalo temen gue pada sering bilang otak gue salah posisi. Dan siang itu, dia duduk di hadapan gue yang gak bisa berhenti senyum-senyum sendiri.

Setelah memakan  habis beberapa topik pembicaraan yang udah kemana-mana arahnya, kami mendadak sama-sama terdiam. Dia kembali membuka novelnya yang sedari tadi tak terbuka sedikitpun. Gue? gue masih sibuk ngeliatin dia sambil pura-pura baca komik yang baru gue beli kemaren siang. Menjelang sore, dia menelfon supir pribadinya, minta jemput di sebuah halte bus yang berjarak beberapa blok dari kafe ini. Sebelum pulang, kami sama-sama meneguk cepat sisa minuman masing-masing, secangkir cappucinno hangat dan kopi aceh dengan aroma khasnya waktu itu. Di jalan pulang, obrolan kami mulai menghangat kembali, namun sedikit bergeser. Sedikit bergesekan dengan masalah yang seharusnya menimbulkan canggung untuk dua orang yang baru saja berkenalan lima jam yang lalu, tapi tidak untuknya. Sepanjang jalan pulang, kami membicarakan komitmen.

Dari kejauhan sebuah honda civic hitam terlihat terparkir rapi di seberang halte bus. Pasti itu tiket pulangnya. Gue menepikan mobil ke sisi lain jalan. Jalan utama ini dibatasi bagian tengahnya, jadi nggak mungkin untuk gue nurunin dia di seberang jalan tempat sopirnya nunggu. Lagi pula, jalanan terlihat senggang waktu itu. Tak sulit untuk seorang perempuan menyeberanginnya dengan anggun. Setelah mobil berhenti total, dia mengucapkan terima kasih dan beberapa salam perpisahan yang gue hiraukan. Sebelum perpisahan pertama kami, kami saling bertukar aroma kopi yang kami seruput sore tadi. Dengan sebuah kecupan hangat, perpisahan pertama kami terasa seperti kopi. Sedikit pahit, namun ada rasa lain yang menyelimutinya. Rasa yang manis seperti gula, dan gurih seperti creamer.

Sama seperti bergelas-gelas kopi yang kami habiskan bersama beberapa hari setelahnya, sebuah perasaan adiktif mulai terasa antara kami. Rasa rindu yang berkali-kali ingin diseduh, rasa khawatir yang berkali-kali ingin di aduk, rasa cinta yang berkali-kali ingin diteguk bersama. Semenjak bertemu dia, gue selalu berterima kasih kepada Tuhan, untuk rasa adiktif pada kopi dan cinta yang diciptakannya.

2 comments:

  1. the best part yang paling ngena "Sama seperti bergelas-gelas kopi yang kami habiskan bersama beberapa hari setelahnya, sebuah perasaan adiktif mulai terasa antara kami. Rasa rindu yang berkali-kali ingin diseduh, rasa khawatir yang berkali-kali ingin di aduk, rasa cinta yang berkali-kali ingin diteguk bersama. Semenjak bertemu dia, gue selalu berterima kasih kepada Tuhan, untuk rasa adiktif pada kopi dan cinta yang diciptakannya." :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. tenang, senja harus tenang. jangan langsung kangen pacar, eh :'p

      Delete