Saturday 8 August 2015

Tiga Dua


13 Mei 1998

            Pagi itu aku dibangunkan oleh ketukan palu milik pegawai-pegawai Koh Wen yang sedang bekerja. Mereka memasang papan nama yang terbuat dari kayu jati bertuliskan “Kedai Kopi: Tiga Doea” dengan dawat berwarna merah dan lukisan naga yang tidur melingkari sebuah biji kopi. Sementara kamu sedang mengusir jauh debu dari meja-meja yang sudah kita susun kemarin pagi. Lantai dasar yang biasanya dipakai untuk ruang tamu dan ruang makan kita bongkar habis-habisan. Mengangkut semua yang tidak perlu ke lantai satu, masukkan ke kamar tidur, gudang, atau letakkan saja di balkon yang sempit itu. Dalam dua hari kerja, ruko minimalis di pusat pecinaan yang sebelumnya hanya tempat tinggal biasa, bertransformasi menjadi  ruko minimalis di pusat pecinaan yang akan ramai dikunjungi orang-orang setiap harinya.

            Para tetangga yang sedang menyiapkan barang dagangannya berhenti sejenak dan menatapku yang baru saja keluar dengan penuh keheranan. Mereka sedang menyaksikan orang cina ter-tidak-konvensional sepanjang era reformasi. Koh Liu menghampiriku sambil membawa sekop eskrim yang belum sempat diletakkannya. Dia mengacungkan alat pengeruk mini itu di depan wajahku dengan ekspresi merah padam “Elu orang mau bikin kopi dari daun-daunan?! Gue emang pernah bilang sama elu kalo semua yang elu bisa lakuin pasti punya nilai ekonomis. Tapi mana ada orang yang mau datang ke warung kopi punya Cina! Mereka lebih percaya dengan restoran-restoran punya orang Yahudi di Jalan Juanda sana! Karena memang itulah keahlian mereka. Gue rasa elu orang udah kehabisan akal kali, ya!”

            Aku hanya bisa membalas perkataan Koh Liu dengan senyuman. Koh Liu yang makin keheranan meninggalkanku bersamaan dengan para pegawai Koh Wen yang berizin untuk pergi karena pekerjaannya sudah dituntaskan. “Kalian nggak mau nyoba ngopi dulu? Saya kasih gratis buat kalian karena sudah bantu saya pasang papan nama.” Tawarku sambil menggiring mereka masuk ke dalam. Keduanya tampak ragu. Matanya sama persis dengan milik Koh Liu barusan.

            “Ini, diminum dulu kopinya mumpung masih hangat. Nanti habis ini kalian jalan ke toko eskrim di seberang sana, ya. Tolong bilangin sama yang punya toko itu gimana rasanya kopi buatan saya.” Keduanya menyeruput kopi itu dengan kaku. Namun, perlahan-lahan matanya yang semula redup seolah menemukan sumber energi baru yang membuatnya kembali menunjukkan sorot aslinya.

            Keduanya berpamit sambil mengucapkan terimakasih atas pengalaman meminum salah satu kopi terbaik di hidupnya. Paling tidak begitulah kira-kira pujian yang diberikan salah satu pegawai Koh Wen itu. Keduanya melangkah keluar pintu dan perlahan menghilang dari jarak pandang normalku yang berdiri di belakang sebuah meja kayu yang menutup sampai bawah, membuat kaki telanjangku tak terlihat oleh pengunjung.

            Batinku tertarik untuk mengintip sedikit dari balik bingkai pintu yang terbuka lebar. Keduanya sedang asik berdebat dengan Koh Liu. Yang satu bercerita dengan penuh semangat sampai mengepal-ngepalkan tangan di udara. Sementara partnernya sibuk menjilati eskrim sambil mengacung-ngacungkan dua jari, bersumpah atas nama Dewa Eskrim bahwa apa yang diceritakan temannya terbebas dari unsur kebohongan. Kopi di pagi hari memang nikmat, tapi tak senikmat menghirup aroma kepuasan melihat Koh Liu berjalan cepat kearah kedaiku, dengan ekspresi ingin tahu yang membara. Segera kubenarkan apron kulit yang sudah agak longgar sambil bergegas ke belakang stasiun kerja, bersiap untuk sebuah pesanan plus ledakan emosi tak percaya. Kutahan tubuhku di meja panjang yang di atasnya berjejer rapi toples kecil berisi biji-biji kopi dan sebuah mesin pembuat kopi manual asli Belanda. Semua proses terjadi di satu meja panjang ini: memilih biji kopi, gula, krimer, atau hanya gula, atau gaya penyajian asal luar negeri yang mengundang tanya, dan membayar pesanan.

            “Gue belum percaya kalo nggak cobain sendiri. Mungkin selera mereka aja yang terlalu rendah soal kopi. Gue walaupun gak suka minum kopi tapi tahu mana yang kelas restoran bintang lima mana kelas ibu-ibu baru nonton acara Rudy Choirudin sekali.” Koh Liu tau-tau sudah berada di hadapanku sambil memegang mug stainless. Ukurannya jauh lebih besar dari gelas atau cangkir yang kugunakan untuk menyajikan pesanan. Dasar penolak rugi.

            “ Siap, Koh. Nanti saya anterin ke depan kalo misalnya lagi banyak kerjaan.”

            “Ah, elu orang tau aja kalo gue lagi sibuk. Jangan manis-manis, ya. Nanti istri gue marah. Gula gue udah mulai naik lagi.” Sambil mengelus-elus perutnya yang agak buncit, Koh Liu beranjak keluar. Meninggalkanku sendiri bersama mug anti rugi miliknya.

            Setelah sebuah bunyi biji kopi tergiling, dan gemericik air seduhan yang merosot turun kedalam mug Koh Liu, segera kuantarkan pesanannya. Kedai eskrimnya sedang padat ramai. Pengunjung keluar masuk secara bergantian. “Koh, saya taroh di atas meja, ya!” Teriakku kepadanya yang sedang sibuk di belakang. Baru saja ingin menuntaskan niat untuk berbalik badan kembali ke tumpukan kafein, tiba-tiba seorang pelanggan tanpa sengaja menyenggol jatuh mug yang baru saja kuletakkan. Tak masalah jika terjun bebas ke lantai. Yang jadi masalah ternyata terjunnya tak bebas, tapi terhambur abstrak di dalam sekotak eskrim siap antar yang belum ditutup kemasannya. Berbarengan dengan itu, Koh Liu keluar dan segera mengidentifikasi masalah yang terjadi. Namun ia kalah cepat dengan kurir pemasoknya yang dengan segera menutup kotak kemasan itu setelah mengeluarkan mug di dalamnya tanpa dosa. Aku yang hanya bisa diam terpaku melihat Koh Liu setengah berlari mengejar pekerjanya yang mungkin sedang mabuk polusi.

            “AMSYONG!! AMSYONG GUE!!!” Teriak Koh Liu berulang. Makin lama makin meredam. Setelah benar-benar hening dari teriakannya, Koh Liu kembali masuk ke dalam sambil memijat-mijat dahinya. Semua orang yang sedang menyaksikan kejadian barusan jelas tahu, Koh Liu bukan sedang sakit kepala. Dengan enggan aku berpamit pulang kepadanya. Jelas merasa bersalah, tapi harus diapakan lagi? Mungkin dalam benaknya sudah tergambar sebuah penolakan besar atas maha karyanya, dengan tuntutan pengembalian uang penuh tentunya.

            Setengah hari berlalu, masih terpikirkan nasib Koh Liu dan pesanannya yang tak sengaja tercampur kopi. Entah apa komentar yang keluar dari pemesannya saat ini. Maki-makian jenis apa yang sedang mereka lontarkan. Lamunanku siang itu dipenuhi kebun binatang dan kotoran-kotoran berbagai jenis makhluk hidup.

            “Kok melamun? Nanti pelanggannya pada pergi, lho.” Suara renyah yang berasal dari dapur itu jelas sekali milik siapa. Memang bukan obat merah, tapi kelembutannya bisa menghentikan kebocoran darah.

            “Eh? Mbak kasirnya kok jam segini baru datang?” Kubalas candaanmu yang sedang menyeka keringat di dahi. Terlihat letih namun tetap menegarkan diri karena pekerjaan rumah yang biasa kita bagi sekarang menjadi tanggunganmu sendiri. Terusan cokelat muda selutut dan cardigan putih yang ditarik sebatas siku menjadi seragam kerjamu hari ini.

            “Baru datang apanya, kalo aku turun ke bawahnya dari tadi terus nanti siang kita mau makan apa?”

            “Nih, biji kopi setoples. Kalo belum kenyang temennya masih sekarung di belakang.”

            “Nggak mau, ah. Bikin masuk angin. Oh, iya, nanti malam kamu di suruh Koh Liu ke tempat dia. Tadi dia nitip pesan pas aku mau buang sampah.”

            Waduh! Mampus! Pikiranku langsung melayang kemana-mana. Membuat fantasi sesosok Koh Liu sedang menamparku sekuat tenaga hingga terkapar. Katamu Koh Liu pernah bercerita soal pengalamannya belajar Wushu di kaki gunung. Semenjak tahu soal itu, aku selalu berhati-hati agar tak mencari perkara dengannya. Pagi ini, justru pelanggannya yang tak berhati-hati yang membawa masalah untukku.

            Malam harinya aku membawakan teko berisi kopi panas ke kedai Koh Liu. Sekedar basa-basi agar undangannya tak terlihat sebagai alasan tunggal aku ke sana. Dia sudah menunggu sejak matahari terbenam tadi. Duduk di meja bundar yang letaknya di luar atap kedai, subtitusi atapnya hanya sebuah payung besar yang tertancap di tengah-tengah meja. Dengan kaos berlambang partai politik dan celana pendek sepahanya, Koh Liu duduk bak kaisar yang sedang menunggu prajuritnya menyampaikan kabar perang.

            “Ha! Akhirnya elu orang datang juga. Sini duduk, ada yang mau gue omongin sama elu. Itu kopi baunya udah sampe sini duluan, gak sabar gue mau cicip langsung.”
           
            “Anu, Koh, soal yang tadi pagi itu, saya mau minta maaf. Biar saya ganti berapa ruginya tadi, Koh.”

            “Rugi gundulmu?! Gue justru dapat borongan pesanan gara-gara elu punya kopi gak sengaja kecampur sama eskrim tadi. Mereka bilang rasanya unik. Eskrim tapi kayak kopi, kopi tapi kayak eskrim. Gue mau minta tolong sama elu, besok pagi gue pesan dagangan elu itu satu teko ini lagi, ya!” kalimatnya yang bercampur tawa membuatku keheranan cukup lama. Ekspresi Koh Liu yang bercerita panjang lebar dengan senyum yang tak kalah lebar berbanding terbalik dengan matanya yang menyipit dan nyaris hilang ketika tertawa terbahak-bahak. Malam itu, aku mabuk rupiah mendapati bayaran tunai dari Koh Liu untuk pesanannya besok pagi.

            Kembali ke ranjang dengan berita gembira memang menyenangkan. Melihatmu tertawa dan tersenyum seperti saat di pasar dini hari saat itu menjadi pengobat ampuh rasa letih selepas melayani puluhan orang yang membeludak saat jam makan siang tadi, berangsur sepi ketika sore hari, dan melonjak lagi menjelang pukul sembilan. Hari pertama kedai ini dibuka, tak sedikit yang langsung terpikat dengan pesonanya.

BRAAKKK!!!!

            Lantang dan menantang, seseorang membuka paksa pintu kedai di bawah. Kamu yang setengah tidur terlonjak kaget, meremas lengan bajuku penuh cemas. “Jangan kemana-mana. Tunggu di sini, aku mau lihat ke bawah sebentar.” Berbekal sebuah senter dan pisau dapur bergagang longgar, aku menuruni tangga yang mungkin juga ikut bergoyang, merambat dari getaran kakiku yang tak bisa diam.

            Suara gaduh terdengar dari bagian depan kedai. Tiga orang dengan siluet tersapu cahaya seneter sedang mengobrak-abrik susunan meja dan lemari-lemari. Di belakang mereka, menggeliat bayangan gelap yang menyelimuti akal sehatnya. Sayup-sayup dari kejauhan aku mendengar suara teriakan Koh Liu dan istrinya. Di ikuti tangisan berdarah milik Nyonya Lie, kemudian rintihan memohon ampun dari pegawai-pegawai warung song mie duapuluh empat jam miliknya. Hal yang berikutnya terlintas di kepalaku adalah mungkin saat ini giliran untuk suaraku yang menggema.

            Seorang pria berkulit hitam yang membawa golok menggulingkan semua meja dan membelah kursi-kursi yang ada menjadi berkeping-keping. Dua orang pria yang berbadan besar berlari ke arahku yang sedari tadi memperhatikan kebrutalan mereka. Entah kenapa yang aku pikirkan bukanlah kedai yang menjadi mimpi usahaku, atau bahkan keselamatanku sekalipun.

“MARTHAAA!!!!”

Teriakanku bersimbah darah segar. Volumenya perlahan-lahan menghilang tertutup cairan merah menyala. Mataku terasa berat, sangat berat. Seolah sedang mengalami narkolepsi. Si Hitam berjalan ke arahku dengan sepatu berujung baja khas Tentara Indonesia yang dapat dengan mudah aku kenali karena aku pernah memakainya pula. Dengan sekali ayunan, pelat baja di hidung sepatunya itu bertumbukkan dengan dahiku. Seketika itu aku merasakan rasa sakit dari arah yang lain. Dibarengi dengan bayangan sebuah tangan yang tebal dan besar terayun ke arahku.

Semuanya mendadak berputar. Berporos pada kepalan sekeras besi yang masih diayun-ayunkan pemiliknya ke sekujur tubuhku. Panas yang sedari tadi menggeluti lebam-lebam yang entah berapa jumlahnya mendadak menghilang. Berganti dingin yang tak kunjung padam. Semakin dingin ketika daging yang melekat di tulangku dilubangi secara paksa oleh logam mungil yang dimuntahkan revolver milik salah seorang dari mereka. Aku memejam tanpa daya. Berharap mereka menganggap aku tak lagi bernyawa.

            Pandangan redupku menangkap ayunan kaki mereka yang menjejak tangga menuju ke lantai atas, sementara derap langkahnya tak dapat lagi kudengar. Hanya dengingan panjang yang menemani usahaku untuk menggerakan ujung jari. Mencoba meraih pisau dapur yang tertancap sempurna ke lantai. Ada rasa frustasi yang menghinggap ketika seluruh tubuhmu tak mendengarkan lagi koordinasi dari otak. Semua menolak untuk diajak bekerja sama. Sampai sebuah lengkingan panjang memacu adrenalinku untuk melupakan semua luka yang sedari tadi menganga.

            Tubuhku terasa seperti bulu angsa yang tak bisa melawan ketika ditiup angin, ringan, sangat ringan, terlalu ringan. Kunaiki tangga dengan jejak lumpur yang ditinggalkan mereka. Nyaris seperti mendaki udara karena ringannya tak terasa lagi kaki menapak di lantai. Pandanganku menyapu seluruh ruangan di lantai satu. Dua dari mereka entah bagaimana caranya tahu-tahu sudah berada di bangunan sebelah, melompat dari jendela atau meniti pinggiran jeruji balkon bisa jadi opsi yang masuk akal. Meninggalkan seorang temannya yang mendobrak lepas pintu kamarku, diiringi dengan jeritan keduamu. Kaki-kaki yang seolah ditarik gaya asing untuk tak bergerak kupaksakan melangkah walau membuatku merintih tiap gerakan sendinya. Aku hanya bisa terdiam di mulut kamar ketika Si Hitam sudah berdiri di atas ranjang dengan tangan kanan menahan mulutmu untuk bungkam dibalik sebuah bantal. Piyama putih itu menggelepar kehilangan jatah oksigen primernya. Ketika sudah terkulai lemas, dengan sebuah ayunan kencang Si Hitam mengadu goloknya, membelah bantal  dan sesuatu di bawahnya menjadi dua bagian sama rata. Persis ketika kamu membelah dua semangka yang kamu beli di pasar dini hari. Bedanya, pisau buah berganti golok berdarah, semangka bundar berganti kepala dengan nyawa yang memudar.

            Ada semacam heroin yang melepaskan kekanganku dari rantai-rantai rasa sakit. Memberikan sebuah ledakan untuk menerkam Si Hitam dari punggungnya. Menggulingkannya ke bawah dalam sekali banting. Detik berikutnya yang aku tahu, aku sudah berada di samping ranjang, di atas Si Hitam yang pakaiannya setengah terbuka. Matanya yang tadi membuat nyaliku ciut kini justru terpejam mengkerut. Mungkin aku sedang berhalusinasi, pisau yang tadi menancap di lantai, sekarang menancap di hati, goloknya yang tadi digenggam erat di tangan kiri, sekarang digigit kuat merobek pipi.


            Ketika adrenalin berangsur habis, kembali kurasa berondongan luka meminta diperhatikan. Seperti dikerubungi satu koloni semut api yang disiram minyak tanah, seluruh tubuh seolah digigiti hingga ke tulang, merambat sampai organ dalam. Cahaya terakhir yang kutangkap sebelum menggelap hanya senyummu yang memudar, sebagian tertutup bantal putih bercorak merah.

Wednesday 5 August 2015

Tiga Satu

12 April 1998

           Kucecap dalam-dalam aroma kayu jati yang ditumpuk meninggi di dalam gudang milik Koh Wen. Dengan sangat teliti, kuselusuri tiap jengkal guratan-guratan halus di permukaannya yang telah diasah penuh presisi. Sudah hampir lima jam lebih kami berdua menilik setiap blok-blok tumpukan kayu yang berjejer rapi, berurut berdasarkan jenisnya bak prajurit-prajurit zaman kolonial dahulu.

            “Elu orang nyari yang bagaimana toh sebetulnya? Tadi minta ditunjukin kayu meranti, terus pengen lihat kayu indah, pindah lagi ke kayu cendana. Kenapa nggak sekalian aja elu perhatiin itu kayu punya pori-pori pakai suryakanta?” Nampaknya Koh Wen mulai kewalahan menanggapi permintaan-permintaanku yang sedari tadi siang sudah berkunjung.

           “Sabar, Koh. Saya harus milih kayu yang benar-benar punya kualitas paling baik.”

           “Elu mau bilang gue punya kayu kualitasnya jelek-jelek semua, ha?!” Koh Wen kehilangan kesabarannya. Tangannya yang semula bersandar pada salah satu tumpukan kayu, kini berpindah bersilang di depan dada.


            “Bukan.. bukan begitu maksud saya, Koh.” Jawabku dengan sedikit canggung. Aku memutar kepala menghadap kepadanya sambil tetap berjongkok dan memegangi kayu jati yang disusun paling bawah. “Saya mau ambil yang ini saja, Koh. Ukurannya sudah dicatat Encon tadi di depan. Saya permisi dulu ya, Koh. Saya harus buru-buru kalo nggak mau ketinggalan trayek terakhir.”

            Encon, anak tertua Koh Wen yang berperawakan tinggi dengan tubuh yang padat protein. Pusat kebugarannya hanya truk dengan kontainer berisi kayu-kayu dan gudang penyimpanan seluas setengah lapangan sepak bola. Tubuhnya ditempa timbunan serat-serat kehidupan sejak kecil. Seperti jari para biksu yang mengapal karena menggerus tasbih kayu setiap hari. Encon tidak lahir begitu saja dengan “Encon” yang melekat di jidatnya sebagai identitas. Song—pohon pinus—nama yang diberikan Koh Wen untuk anak yang paling bisa diandalkannya. Lidah terbelit memang kadang membuat dahi mengernyit.

            “Gue mulai kerjain elu punya pesanan tiga hari lagi, ya. Nanti kalo elu mau liat-liat prosesnya juga boleh datang kemari. Sekitar tiga minggu lebih baru selesai. Tergantung sama cerewetnya elu gimana nanti lihat gue punya karyawan kerja.”

            “Iya, Koh. Saya nanti ke sini kalo ada waktu buat lihat-lihat.” Secepat kilat setelah salam perpisahan terucap aku berlari menyelinap diantara kerumunan-kerumunan orang yang sedang memadati jalur pedestrian di muka bangsal kayu milik Koh Wen yang akhir-akhir ini menjadi langgananku. “Bang! Tunggu saya, Bang!” Teriakku pada seorang kondektur yang hampir saja keberadaannya tak terdeteksi olehku karena tertutup kepulan asap hitam hasil pembakaran saat kendaraannya hendak melaju.

            Anak kuliahan, pegawai kantoran, pencopet, pedagang keliling, semuanya terlihat sama di mataku yang sore itu duduk di baris paling belakang. Mengamati air muka mereka yang seakan tak berdaya dan ingin menyerah saja untuk ditelan kejamnya ibu kota sebagai tumbal para petinggi yang namanya tercetak di tiap lembaran surat pencairan dana negara.

            Sepatu usangku dipaksa berjalan gontai membelah Jalan Gajah Mada, trayek yang kunaiki hari ini sedang sial-sialnya karena mengalami berbagai malfungsi pada mesinnya. Terpaksa aku harus pulang sedikit lebih larut. Mau bagaimana lagi, ongkos untuk kendaraan umum tua tadi adalah penghabisan dari tabungan yang aku punya. Sisanya sudah berpindah tangan ke Koh Wen.

            Tok.. tok.. tok..

            ”Eh, aku sudah menunggu kamu pulang dari tadi. Kenapa sampai selarut ini? Apa Koh Wen memberikan harga yang terlalu mahal? Beristirahat lah dulu, aku siapkan kopi kesukaanmu.”

            Aku benar-benar merasa pulang ke rumah. Memang tak megah, namun tinggal satu atap dengan orang yang paling bisa membuat kita bahagia tentu akan membuat kita menjadi tidak menuntut apapun sebagai pelengkap dari atap itu. Kutatap matamu yang merah dan berair akibat menahan kantuk di meja makan sambil menunggu suaminya pulang ke rumah. Lamunanku bertambah jauh ketika kuhirup asap yang membumbung dari bibir cangkir porselen buatan Belanda yang menjadi hadiah pernikahan kita dulu. Lamunanku memasuki kecepatan kuantum dan semakin menjauh dari kenyataan saat kuseruput lembut kopi yang biasa kamu sebut Koffie Verkeerd, mengingatkanku pada bulan madu kita di kampung halamanmu, dan juga pengalaman pertamaku melintasi benua yang tak akan terlupakan sedetikpun—berada di kendaraan yang tak menapak bumi selama berjam-jam. Kopi penuh ketaksaan ini berhasil mengalahkan dominasi teh Wang Laoji yang sedari kecil sudah sering dihidangkan Mama sebagai teman sarapan ataupun santap siang dan malam. Entah sihir apa yang kamu masukkan kedalamnya sehingga ada seorang Hokkian yang bukannya menyeruput teh, melaikan menikmati kopi dari Eropa sana.

            Hubungan yang terlalu mengundang banyak tanya. Bagaimana bisa seorang pria sipit bertemu wanita bermata bulat dan berwarna hijau secerah rumput? Bagaimana bisa dengan hidung minimalisnya seorang pria bertubuh kecil mencium wangi parfum dari leher bertubuh semampai dan hidung bak pinokio setengah berbohong? Selama ini semua pertayaan tentang diskriminasi fisik dan lain sebagainya selalu aku tampung dalam sebuah kotak kayu kokoh di dalam kepalaku. Menguncinya kuat-kuat agar tak sampai terpikirkan oleh otak. Kunci terapatnya tentu saja bujukanmu setiap malam sebelum tidur agar aku tak merisaukannya. Tapi jika ada yang bertanya bagaimana bisa kita saling mencinta, tentu aku tak akan sungkan menceritakannya.

            Siapa yang bisa melupakan suasana romantis yang menjadi panggung utama saat adegan pertemuan kita untuk kali pertamanya dimainkan oleh Tuhan—yang punyamu bersalib, milikku bertasbih sebesar anggur. Bulan sedang malu-malunya malam itu, menyisakan lampu minyak seadanya milik penjaga kios buah di pasar yang hanya buka dari tengah malam hingga menjelang subuh. Sesudah matahari menyergap, semua hiruk-pikuk seolah berlari ketakutan entah kemana perginya. Dini hari itu, sebuah pemandangan yang tak biasa kudapati di pasar ini sedang menjadi pusat perhatian. Bukan bukit berbaris yang ditumbuhi cemara, atau pantai berpasir putih dengan gulungan ombak kecil, bukan pula danau yang luas namun tenang tak berarus. Melainkan gabungan dari ketiganya. Rambut bergelombang tergerai indah tertarik gravitasi, senyum yang dihemat-hemat namun tetap terlihat menawan, mata lembut yang tak hanya meneduhkan tapi juga mendamaikan. Membuat siapa saja enggan untuk beranjak.

            Kamu membeli sebuah semangka bundar sempurna, mengelus-elusnya seolah itu kepala seorang anak yang baru saja mendapat nilai ulangan terbaik sekelas. Aku tak berani berkata, bahkan untuk sekedar menyapa. Hanya mematung dengan sekantong plastik apel merah menggantung.

            “Di dalam kitab agama saya, katanya apel itu buah pengetahuan. Alasan tunggal Adam dilemparkan ke Bumi. Jadi mungkin kita bisa pintar kalo banyak makan apel.” Kamu memecah hening. Sambil menolak kembalian yang kamu rasa tanggung jumlahnya, kamu membuatku jatuh cinta karena suara.

            “Di dalam kitab agama saya mungkin tidak disebutkan buah semangka, tapi saya tau kalau semangka itu sebenarnya untuk dimakan, bukan dielus-elus.” Jawaban yang tentu saja gagal untuk memikat wanita. Tapi kamu malah tertawa, melepas jubah anggun yang sedari tadi menutupi kehangatan dan aura bersahabat dari dalam dirimu.

            Dari kios buah berpindah ke gerobak sayur, setelah itu meja berpisau lebar yang berlumur darah ayam potong, selanjutnya nampan besar berisi puluhan kilo bumbu-bumbu dapur yang dipisah-pisah dengan kantung plastik kecil. Biasanya aku langsung pulang setelah membeli buah-buahan, tapi pagi itu kamu berhasil membujukku untuk menjadi market guide dadakan yang sebenarnya pun tak pernah tau letak pedagang-apa-si-penjual-apa membuka lapak. Hari itu pertamakalinya aku berharap matahari terbangun sedikit kesiangan.

           Percakapan kita berlanjut hingga ke sebuah ruang tamu di rumah berarsitektur Eropa yang terselubungi pohon-pohon rindang. Kamu menyuguhiku secangkir kecil minuman yang dari penampilannya pun tak menggugah selera. Hitam, pekat, asap mengepul di atasnya. Semula aku menduganya sebagai arang yang dicairkan. Aku lebih mengharapkan teh hijau atau semacamnya di dalam hati.

            “Kenapa? Tidak suka kopi ya?” Bukannya tidak suka atau tidak selera, masalahnya, ini kali pertama. Berkenalan dengan seorang londo yang dulu kerap ku maki-maki, berbicara tentang banyak hal sepanjang pagi, meminum suspensi yang biasanya dijadikan sesajen saat seorang paranormal—yang tidak normal—memulai ritual berpindah alamnya. Tentu saja yang aku bayangkan begitu meminum kopi ini adalah tubuh menggelepar dengan mata merah padam dan suara menggeram karena kemasukan arwah penunggu rumah ini, tapi kok... ini... eh? Kok enak?

            “Ini kok enak banget gini ya? Aku kira kopi itu rasanya kayak nyeruput arwah penasaran masuk ke dalam mulut.” Celetukku sambil menghabiskan tetes terakhir. Ada yang aneh, mana ampasnya?

           “Kamu nyari ampasnya? Masih ada kok di belakang kalo kamu mau makan.” Kamu tertawa kecil. Sedikit saja, tapi sudah bisa menerbangkan puluhan balon udara, “Kalo di Belanda kopinya nggak pake ampas. Jadi walaupun kamu belum biasa minum kopi gak usah takut keminum sama ampas-ampasnya.”

       Perkenalan hari itu ditutup oleh mendung yang tak diundang. Dipaksa bergegas pulang oleh alam memang menyebalkan. Pertemuan kita berlanjut esok paginya di tempat yang sama, kios buah pasar dini hari. Perkenalan-perkenalan lain terjadi di hari-hari berikutnya. Kopi yang kamu sajikan pun sudah bermacam-macam. Terkadang kamu bawa aku ke dapur, mengajari bagaimana cara membuatnya. Tak sampai sebulan, aku sudah hafal betul isi lemari tempat kamu menyipan kopi. Mulai dari ujung kiri: Bali Kintamani, Sirisirisi, Ciwidey, Borongborong, Mandheling, Javamocha, Kalosi, Flores Bajawa, Aceh Gayo, Wonosobo, Robusta Temanggung. Aku menghafal bak anak sekolah dasar diajari membaca. Hari-hari pertama kamu mengajariku menghafal lewat bentuknya, besar-kecil, bulat-pipih, padat-lunak. Di hari berikutnya kamu mengajakku meneliti satu persatu aroma mereka dengan hidungku yang lubangnya bahkan tak muat dimasuki ibu jari sendiri. Gelas-gelas kecil berisi seduhan berbagai jenis kopi menjadi penonton di baris depan ketika cupid melesatkan panahnya menembus dadaku. Entah berapa busur yang dia tancapkan, rasanya aku jatuh cinta berat. Padamu, dan kopi yang kamu bawa masuk ke hidupku.

      Tiga bulan berikutnya tekadku untuk menyematkan cincin emas peninggalan Nainai membulat. Aku harap Nainai tidak keberatan di alam sana jika yang memakainnya nanti bukan wanita yang dia idamkan seperti di dalam dongeng-dongeng Cina pengantar tidurku. Jelas lamaranku tak seromantis teman-teman priamu yang asal Prancis. Tanpa seikat mawar ataupun bunga lainnya, tanpa lilin-lilin wangi yang disusun cantik, tanpa wine berumur puluhan tahun. Terang saja jawabanmu di balkon rumah bernomor tiga satu itu membuatku tertunduk menangis. Ketika aku bersimpuh sambil menunjukan sebuah kotak merah berisi cincin emas tua. Seisi semesta serasa berputar. Berporos pada jawabanmu saat itu

            “Ni shi wo xihuan de jiahuo.” Jawabmu. Dengan senyum yang agak boros tak seperti biasanya. Aku masih tertunduk, mencoba mencerna lebih dalam makna ucapanmu tadi.

            “Ik hou van jou, Martha.” Kepalaku menegak, terasa sapuan tangan lembut menghentikan tangisku. Tangis seorang lelaki yang baru saja merasa menjadi sejati. “Kemarin seharian aku di perpustakaan kota. Sampai-sampai aku minta penjaganya untuk menunjukkan cara melafalkan yang benar. Ternyata kamu sudah bisa Bahasa Mandarin, tau begini tadi aku pakai wo ai ni saja tadi.” Kita sama-sama tersenyum lebar. Membentang dari Eropa sampai negeri Cina.    

            “Jadi, gimana tadi siang? Aku lihat kamu renjana sekali kali ini soal membuka usaha sendiri.” Suaramu yang lembut namun tegas membuyarkan lamunanku. Kakiku kembali menapak ke Bumi. Ruang fantasiku melebur, bersatu kembali di atas meja makan sederhana, dengan sekangkir kopi tanpa ampas. Terpaku sejenak menatap matamu yang tetap teduh meski kita sudah di tahun ke sepuluh.

            “Ah, nggak. Nasehat Koh Liu minggu lalu saat kita mampir ke kedai eskrim miliknya membuatku berpikir setiap malam untuk memulai usaha ini. Aku semenjana saja, tapi mungkin memang sudah mengalir di nadiku darah para pedagang.”

            “Kedai Eskrim Tjan Njan yang dulu hanya bisnis kecil-kecilan sekarang sudah mulai jadi langganan banyak orang dari berbagai kalangan. Pasti kamu juga mengimpikan hal yang sama kelak, kan.”

            “Tidurlah, Mar. Biar aku habiskan dulu kopi ini sampai ke dasar gelasnya. Nanti setelah itu aku menyusul.”


            Malam itu terasa lebih panjang dari malam-malam yang lain. Ketidak sabaran dan perasaan yang menggebu-gebu bersiap meledak dan melompat keluar dari dalam tubuhku. Besok pagi, akan ada sebuah toko baru yang bakal menjadi pembangun mimpi seorang pengusaha muda—sedikit masih muda.


Monday 3 August 2015

Prolog 2

            Siapa sangka tahun ini masih ada denyut nadi di Kedai Cerita. Hampir setengah tahun berlalu namun belum ada satupun cerita yang didongengkan seperti biasanya. Bukan lantaran sibuk atau karena jari tangan yang membusuk. Ada yang sedang tertidur di dalam sana. Menunggu untuk dibangunkan. Semalam, ada yang lancang mengguncang kasurnya hingga dia terbangun. Sang Maha-Penghayal.

            Tahun ke tiga Kedai Cerita dibuka. Serangkaian metamorfosis terjadi dalam kurun waktu yang tidak singkat ini. Post pertama dari Kedai Cerita—Catatan si Perfeksionis saat itu—semua prosesnya terjadi di sebuah internet cafe kecil di tengah Kota Jambi, tepat di mana blog ini terlahir pula. Suasana persalinannya pun tak kalah menarik. Tawa-tawa lepas penonton setia Youtube, ledakan dan berondongan senapan mesin di sana-sini, napas berat pasangan berseragam SMA lengkap di bilik sebelah, musik-musik terbaru yang sedang diburu pembajak seolah tak mau kalah ditelan suasana. Saat itu, semesta berhenti berputar sejenak. Ketika sebuah domain baru terdaftar di maya. Tentang-senja.

            Melewati serangkaian peristiwa order dan chaos, semua berbalik entah berapa ratus derajat dari saat itu. Sekarang, postingan berjudul Prolog III ini diracik dalam sebuah kamar 3x3 dengan suasana yang jauh dari bunyi-bunyian di sudut jalan alternatif Yogyakarta. Bukan dengan personal computer sewaan perjam lagi, sebuah notebook dengan program keluaran terbaru dan sinyal wi-fi milik sendiri yang menjadi perkakasnya. Tidak ada lagi acara tunggu-tungguan antara ketikan jari tangan dan huruf yang telat keluar di layar. Semua terasa lancar. Tiga tahun yang terasa lancar.

            Setelah prolog ini selesai, mungkin akan mengalir lagi cerita-cerita ringan seperi biasa yang tersajikan hangat setiap kali beranda Kedai Cerita terbuka. Menyisakan beberapa bulan sebelum berganti tahun, biarkan kembali dapur imajinasi di sini mengepul. Mengeluarkan aroma yang menggugah rasa lapar akan rangkaian kata yang sudah sekian lama tak dibaca.


Tingg...!!! Order meja 3510! Satu cerita cinta setengah matang! Tiga akhir yang bahagia! Satu Americano!