Friday 23 June 2017

Tiga Tiga



Dua cangkir porselen murah yang sudah menguning; salah satunya digenangi sisa kopi hitam yang tadi pagi mengepulkan asap putih. Pasangannya dituangi air putih hangat dan dua siung bawang putih. Keduanya memiliki tujuan yang berseberangan ketika diramu dan diseduh, namun kini mereka tak bisa dipisahkan ketika aku yang berperan sebagai penyesap. Cangkir pertama untuk memenuhi kebutuhan kafein harian, cangkir kedua sebagai pencegah darah tinggi paling ekonomis dan praktis. Butuh setidaknya satu piringan hitam Dean Martin untuk beralih dari cangkir pertama ke cangkir kedua. Tidak ingin cepat-cepat kuhilangkan asam yang menggelitik lidah. Pahitnya selalu menjadi mesin penjelajah waktu yang mengantarkan kembali sampai ke tempat tujuan—di kursi ini, hari ini, 1998.

Tak banyak yang hilang pada hari rabu merah limabelas tahun silam. Hanya beberapa perabot dan pintu, sedikit daging dan otot bahu—yang sekarang sudah tumbuh kembali, dan kamu—yang tidak bisa tumbuh kembali. Walaupun lubang bekas tembakan liar sebesar gundu itu sudah tidak nyeri lagi, rasanya ada lubang-lubang lain yang masih tetap menganga dan tak pernah kering lukanya. Beberapa kali kucoba menutupnya tetapi kemudian lubang itu muncul di tempat berbeda, menegaskan bahwa aku menyerahkan sebagian hidupku kepadamu dan telah kehilangannya. Tak perduli berapa banyak kesepian yang coba kuredam, selalu ada celah bagi kepergianmu untuk membuatku merasa sendirian.

Setelah mencuci cangkir dan mengibas-ngibaskan kemoceng pada lemari-lemari dan perabot secara sekilas kuputuskan untuk menunda dulu sarapan pagi, mengambil sepatu olahraga, memakai kaos I love Jogja  yang kebesaran, dan mengganti sarung dengan celana tenis—yang belum pernah masuk ke lapangan tenis seumur hidupnya. Sekarang pukul enam tepat dan kedai baru akan melayani pesanan setengah jam lagi. Para early bird yang singgah di sini sebelum memulai kehidupan berasal dari dunia yang beragam; mulai dari pejabat muda yang memesan “kopi manis” dan sarapan kecil, bapak-bapak atlet catur, mahyong, kartu remi, dan permainan lain yang tidak membuat pantat beranjak dari tempatnya, pekerja-pekerja malam yang belum siap pulang ke rumah, sampai pegawai Koh Liu yang mencuri-curi waktu sebelum disibukkan pelanggan pagi hari. Kuturuni tangga menuju lantai dasar sambil memilih-milih teman untuk berjalan nanti. Pink Floyd? Masih terlalu pagi. Ramones? Jack Johnson? Phil Collins? Bisa-bisa jam sepuluh baru sampai rumah lagi. Frank Sinatra? Already have too much rat pack this morning. The Beatles? Hmm.. Who can’t say no to Beatles?

            Kunaikan rolling door dan menyapa Koh Liu yang sedang didoakan anaknya dari lantai satu toko eskrim peninggalannya. Bau dupa yang menyelinap dari celah jendela selalu  menegurku seperti yang dilakukan Koh Liu setiap pagi. Lima tahun lalu terakhir kali kuhidupan dupa untukmu, setelahnya aku mulai berhenti memkirkan soal dunia setelah kehidupan dan berpegang pada konsep bahwa energi itu bersifat kekal. Mungkin energimu sekarang sudah berubah bentuk menjadi sesuatu yang berbeda—mungkin juga bereinkarnasi menjadi roti bakar keju coklat—dan memberikan aroma terapi yang menyengat tidak akan merubah keadaan sedikitpun. Setelah puas bertegur sapa dengan abu kremasi Koh Liu dari kejauhan, aku mengambil beberapa koran harian yang diselipkan di kotak surat dan masuk ke dalam untuk menumpuknya ke rak majalah di sebelah meja kasir. Ketika kembali keluar seorang perempuan bergaya kantoran menyapa dengan senyum yang tidak dibuat-buat.

            “Maaf, apa sekarang sudah buka?” dia bertanya sambil menyatukan kembali beberapa helai rambutnya yang jatuh menutupi mata ke sela telinga dengan tangan kiri. Tangan kanannya mengapit sebuah tas jinjing dari kertas berwarna putih. Dia datang dengan berjalan kaki sepagi ini, kurasa tidak ada salahnya membuka kedai sedikit lebih awal agar dia bisa mengistirahatkan mata merahnya yang berkantung.

“Ya tentu saja, tapi saya belum menurunkan kursi-kursinya jika anda tidak keberatan.”

Dia berjalan masuk mengikutiku yang menurunkan sebuah kursi di depan meja bar sambil berputar beberapa kali untuk melihat seisi ruangan. “Rasanya seperti sedang berada di rumah ibu saya; tua dan nyaman. Apa anda bekerja sendiri?”

“Saya dulu bekerja di sini. Sekarang saya hanya sebagai pemilik yang kadang-kadang menyapa pelanggan dengan ramah atau mendengarkan keluhan tentang jam tutup yang terlalu cepat. Pegawai saya baru akan datang sepuluh menit lagi.”

“Apa itu artinya saya belum bisa memesan apa-apa sampai sepuluh menit ke depan?” pertanyaannya diakhiri dengan menguap yang terlalu pendek untuk jam enam pagi.

Aku berjalan ke belakang meja dan mengambil apron kulit yang tergantung di dinding. “Artinya anda akan menyuruh pemilik kedai yang sudah kaku dan lama tidak melayani pelanggan ini untuk melakukan pekerjaan lamanya. Silahkan pilih pesanan anda, saya sarankan untuk tidak memesan apapun selain yang ada di barisan pertama. Jangan rusak pagi anda dengan memesan sesuatu yang saya sendiri tidak bisa menjamin rasanya.”

Matanya memindai daftar menu yang tergantung di dinding yang ku belakangi. Barisan pertama berisi berbagai cara penyajian kopi, barisan kedua minuman tanpa kafein, barisan ketiga dan keempat berjajar daftar makanan yang ditambahkan oleh para pegawai pada rapat pembuatan daftar menu tahun lalu. Setelah membaca berulang sambil mengusap dagunya dia menaggalkan blazer yang menyembunyikan kemeja putih dengan pola pinguin kecil dan berkata “Kalau begitu saya pesan Macchiato. Latte.

Macchiato.. Latte..” otakku memproses semuanya dengan sekejap. Dalam satuan mach lemari-lemari pengetahuan di dalam otakku terjelajahi. Mengurut kata kunci dan membaca cepat apa yang harus dikirimkan melalui saraf-saraf ke seluruh tubuh; kaki bergerak ke kiri, tangan kanan meraup segenggam biji robusta, tangan kiri menggaruk-garuk kepala karena lupa letak gelas takar. Semuanya bekerja secara berirama, walaupun sering ditemui nada-nada sumbang ketika ini terjatuh, itu terlalu banyak, dan di mana letaknya anu.

Helaan nafas panjang berkali terdengar nyaring namun tanganku tak kunjung berhenti bergetar. Lama tak membuat apapun selain kopi hitam pahit membuat lagakku seperti pegawai magang yang dipelototi bos dan pemesan pertamanya. Espresso ku tuang perlahan agar tak tercampur dengan susu, dulu seperti menuang air putih, sekarang seperti menakar obat maag. Pengunjung banyak yang memesan Macchiato karena tergoda dengan lapisan-lapisan yang telihat tegas garis kontrasnya, dari putih lembut susu perlahan menjadi keruh digoda kopi. Salah satu model yang tak pernah luput dari sesi foto pra-drinking menurut pengamatanku.

Belum selesai ku tabur kayu manis di atasnya, justru senyum manis wanita tadi yang menghabur terlebih dahulu. Dia beranjak dan menanggalkan ponsel berlayar dua warna sambil menunjuk toko di seberang jalan mengisyaratkan tujuannya. Langkahnya menuju lurus ke pintu keluar, namun pandangannya meratap ke atas, seolah berharap tuhan turun dari langit-langit dan memberinya sekerucut eskrim. Tarikan pintunya berbarengan Mbop yang hari ini datang sedikit terlambat. Mereka berpapasan dan saling melempar teguran yang dikemas senyum penuh keseganan.

Kuserahkan apron dan urusan kedai kepada Mbop yang sejak melangkah masuk terus meminta maaf karena terlambat lima menit. Katanya dia harus berhenti beberapa kali karena rantai sepedanya selalu terlepas setiap beberapa kayuhan. Mbop biasanya mengisi presensi paling awal setiap pagi dengan harapan mendapat tambahan jam istirahat agar bisa bercengkrama bersama super cub warisan Koh Liu yang sampai saat ini masih kuragukan dapat hidup kembali. Setiap siang dia akan pergi ke garasi di belakang toko eskrim seberang jalan dan memulai operasi bedah motor selama satu jam. Kemudian dia akan kembali ke kedai dengan tangan penuh oli hitam dan ekspresi wajah dokter bedah yang gagal menyelamatkan pasiennya. Suatu siang aku menanyakan alasan kenapa dia ingin menghidupkan motor tua itu lagi. Dia berkata dengan senyum yang lebar sampai-sampai mata besarnya tinggal segaris “You meet the nicest people on a Honda.” Pada detik itu aku sadar, dia lebih dari seorang mantan tattoo artist lulusan STM yang membaca The Design of Everyday Things sebelum tidur.

Setelah serangkaian ritual permintaan maafnya—mulai dari pijatan di pundak sampai selembar permen karet rasa mint—Mbop mulai disibukkan dengan beberapa pelanggan kepagian. Pagi ini kedai seharusnya dijalankan oleh Mbop dan dua pegawai lain yang masih belum datang. Kakak-beradik yang terlihat anggun namun sudah biasa bekerja keras untuk meringankan beban keluarga. Tak lama keduanya datang dan saling melempar candaan dengan Mbop, aku memilih untuk menemani wanita tadi yang tidak bergeming sedikitpun semejak kembali dari membeli eskrim di seberang.

“Boleh saya bergabung?”

“free country, of course.” Dia memutar sedikit posisi duduknya menghadapku kemudian menyesap ringan melalui bibir gelasnya “Rasanya seperti tenggelam ke dalam palung laut. Perlahan-lahan cahaya mulai menyerah dan meninggalkan kita bersama sisa-sisanya dan gelap yang senyap.” Matanya memejam tanpa paksaan, diikuti tarikan nafas panjang yang dihabiskan utnuk satu kalimat. Tidak ada yang lebih mengerikan selain mati tenggelam di tengah samudera. Tentu saja yang barusan hanya kiasan, mana mungkin kopi buatanku rasanya seburuk itu sampai dia merasa sekarat. Mungkin dia sedang membicarakan hidupnya.
   
Lipstik merahnya sedikit memudar bercampur dengan kopi yang mendadak menjadi kebanyakan gula. Tangannya kembali menyampingkan beberapa helai rambut yang terpisah dari temannya. Mbop menginterupsi keheningan sesaat itu dengan menawariku permen jahe yang disediakan untuk para langganan yang sering mengobrol di meja bar hingga tenggorokan terasa serat. Kuambil satu dan mencecapnya dalam-dalam. “Tidak terlalu buruk juga. Setidaknya sebelum mati atau keburu jadi makanan ikan duluan, kita masih bisa menikmati keheningan sambil merasakan dinginnya didekap samudera dalam-dalam. Pelukan mana lagi yang bisa sesejuk itu.”

“Ada satu pelukan yang sangat dingin, mengalahkan kesejukan samudera yang acuh pada kehadiran kita di perutnya. Aku pernah merasakannya sekali, sekali saja. Dinginnya menjalar dari tangan yang melingkar di lengan sampai bahuku, menyelinap di sela lapisan kulit, mengoyak-ngoyak jaringan otot, mendobrak paksa susunan tulang, dan merengsek masuk ke dalam jantungku.” Dongengnya ia beri jeda dengan sebuah hisapan Macchiato yang dalam. Dia habiskan sisanya dalam satu sesi yang bisa membuat otak terasa beku. Tapi sepertiya dia menikmati angin kutub yang berlalu sesaat di kepalanya. Mungkin dia sedang membutuhkan referensi rasa dingin yang barang kali telah terlupakan.

Pandangannya terjurus pada sesuatu di belakangku—atau mungkin di dahiku, atau bahkan di dalam diriku. Ku tahu pasti yang jelas itu bukan Mbop yang sedang berkaraoke pribadi dengan walkman-nya. Matanya meruncing seolah menemukan jawaban yang ditulis dengan huruf yang sangat kecil. Dia berdiri dan sedikit menjauh dari orbitku yang tak mengantisipasi akan kepergiannya yang mendadak. Blazernya kembali terkancing rapi, barang-barangnya berbaris siap diangkut kapanpun induknya berkomando. Tanpa salam penutup atau kalimat sampai jumpa seperti pada surat yang biasa dibuat saat sekolah dasar, ia meraih tasnya dan berjalan mundur perlahan, kemudian berbalik badan. Seolah kepergiannya adalah sesuatu yang dia ingini namun masih enggan jika terealisiasi. Langkahnya terasa berat dan kecil, semakin mendekati pintu keluar semakin tak mau dikompromi salvatore ferragamo hitamnya yang seolah bertambah berat.

“Sesuatu terasa salah?” kucoba menahan perginya. Entah itu pertanyaan atau pernyataan yang aku sendiri tak yakin. Dia berbalik dan berjalan mendekatiku. Cukup dekat untuk membisikkan sepatah kata langsung di telinga kiriku yang menghening seketika. Aku bisa merasakan senyumannya tanpa perlu menoleh. Dia memutar kembali badannya dan melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda. Tubuhku menolak untuk menahannya pergi sekali lagi. Rasanya sudah cukup hari ini aku bertemu dengannya. Aku kembali ke meja bar dan mendapati secarik kertas yang sepertinya disobek dari sebuah buku catatan tanpa paksaan. Dengan tinta biru, tulisan yang agak miring itu mengundangku untuk kembali duduk dan mengangkat sedikit gelas yang menghimpitnya.

“Tamam Shud.”