Saturday 8 August 2015

Tiga Dua


13 Mei 1998

            Pagi itu aku dibangunkan oleh ketukan palu milik pegawai-pegawai Koh Wen yang sedang bekerja. Mereka memasang papan nama yang terbuat dari kayu jati bertuliskan “Kedai Kopi: Tiga Doea” dengan dawat berwarna merah dan lukisan naga yang tidur melingkari sebuah biji kopi. Sementara kamu sedang mengusir jauh debu dari meja-meja yang sudah kita susun kemarin pagi. Lantai dasar yang biasanya dipakai untuk ruang tamu dan ruang makan kita bongkar habis-habisan. Mengangkut semua yang tidak perlu ke lantai satu, masukkan ke kamar tidur, gudang, atau letakkan saja di balkon yang sempit itu. Dalam dua hari kerja, ruko minimalis di pusat pecinaan yang sebelumnya hanya tempat tinggal biasa, bertransformasi menjadi  ruko minimalis di pusat pecinaan yang akan ramai dikunjungi orang-orang setiap harinya.

            Para tetangga yang sedang menyiapkan barang dagangannya berhenti sejenak dan menatapku yang baru saja keluar dengan penuh keheranan. Mereka sedang menyaksikan orang cina ter-tidak-konvensional sepanjang era reformasi. Koh Liu menghampiriku sambil membawa sekop eskrim yang belum sempat diletakkannya. Dia mengacungkan alat pengeruk mini itu di depan wajahku dengan ekspresi merah padam “Elu orang mau bikin kopi dari daun-daunan?! Gue emang pernah bilang sama elu kalo semua yang elu bisa lakuin pasti punya nilai ekonomis. Tapi mana ada orang yang mau datang ke warung kopi punya Cina! Mereka lebih percaya dengan restoran-restoran punya orang Yahudi di Jalan Juanda sana! Karena memang itulah keahlian mereka. Gue rasa elu orang udah kehabisan akal kali, ya!”

            Aku hanya bisa membalas perkataan Koh Liu dengan senyuman. Koh Liu yang makin keheranan meninggalkanku bersamaan dengan para pegawai Koh Wen yang berizin untuk pergi karena pekerjaannya sudah dituntaskan. “Kalian nggak mau nyoba ngopi dulu? Saya kasih gratis buat kalian karena sudah bantu saya pasang papan nama.” Tawarku sambil menggiring mereka masuk ke dalam. Keduanya tampak ragu. Matanya sama persis dengan milik Koh Liu barusan.

            “Ini, diminum dulu kopinya mumpung masih hangat. Nanti habis ini kalian jalan ke toko eskrim di seberang sana, ya. Tolong bilangin sama yang punya toko itu gimana rasanya kopi buatan saya.” Keduanya menyeruput kopi itu dengan kaku. Namun, perlahan-lahan matanya yang semula redup seolah menemukan sumber energi baru yang membuatnya kembali menunjukkan sorot aslinya.

            Keduanya berpamit sambil mengucapkan terimakasih atas pengalaman meminum salah satu kopi terbaik di hidupnya. Paling tidak begitulah kira-kira pujian yang diberikan salah satu pegawai Koh Wen itu. Keduanya melangkah keluar pintu dan perlahan menghilang dari jarak pandang normalku yang berdiri di belakang sebuah meja kayu yang menutup sampai bawah, membuat kaki telanjangku tak terlihat oleh pengunjung.

            Batinku tertarik untuk mengintip sedikit dari balik bingkai pintu yang terbuka lebar. Keduanya sedang asik berdebat dengan Koh Liu. Yang satu bercerita dengan penuh semangat sampai mengepal-ngepalkan tangan di udara. Sementara partnernya sibuk menjilati eskrim sambil mengacung-ngacungkan dua jari, bersumpah atas nama Dewa Eskrim bahwa apa yang diceritakan temannya terbebas dari unsur kebohongan. Kopi di pagi hari memang nikmat, tapi tak senikmat menghirup aroma kepuasan melihat Koh Liu berjalan cepat kearah kedaiku, dengan ekspresi ingin tahu yang membara. Segera kubenarkan apron kulit yang sudah agak longgar sambil bergegas ke belakang stasiun kerja, bersiap untuk sebuah pesanan plus ledakan emosi tak percaya. Kutahan tubuhku di meja panjang yang di atasnya berjejer rapi toples kecil berisi biji-biji kopi dan sebuah mesin pembuat kopi manual asli Belanda. Semua proses terjadi di satu meja panjang ini: memilih biji kopi, gula, krimer, atau hanya gula, atau gaya penyajian asal luar negeri yang mengundang tanya, dan membayar pesanan.

            “Gue belum percaya kalo nggak cobain sendiri. Mungkin selera mereka aja yang terlalu rendah soal kopi. Gue walaupun gak suka minum kopi tapi tahu mana yang kelas restoran bintang lima mana kelas ibu-ibu baru nonton acara Rudy Choirudin sekali.” Koh Liu tau-tau sudah berada di hadapanku sambil memegang mug stainless. Ukurannya jauh lebih besar dari gelas atau cangkir yang kugunakan untuk menyajikan pesanan. Dasar penolak rugi.

            “ Siap, Koh. Nanti saya anterin ke depan kalo misalnya lagi banyak kerjaan.”

            “Ah, elu orang tau aja kalo gue lagi sibuk. Jangan manis-manis, ya. Nanti istri gue marah. Gula gue udah mulai naik lagi.” Sambil mengelus-elus perutnya yang agak buncit, Koh Liu beranjak keluar. Meninggalkanku sendiri bersama mug anti rugi miliknya.

            Setelah sebuah bunyi biji kopi tergiling, dan gemericik air seduhan yang merosot turun kedalam mug Koh Liu, segera kuantarkan pesanannya. Kedai eskrimnya sedang padat ramai. Pengunjung keluar masuk secara bergantian. “Koh, saya taroh di atas meja, ya!” Teriakku kepadanya yang sedang sibuk di belakang. Baru saja ingin menuntaskan niat untuk berbalik badan kembali ke tumpukan kafein, tiba-tiba seorang pelanggan tanpa sengaja menyenggol jatuh mug yang baru saja kuletakkan. Tak masalah jika terjun bebas ke lantai. Yang jadi masalah ternyata terjunnya tak bebas, tapi terhambur abstrak di dalam sekotak eskrim siap antar yang belum ditutup kemasannya. Berbarengan dengan itu, Koh Liu keluar dan segera mengidentifikasi masalah yang terjadi. Namun ia kalah cepat dengan kurir pemasoknya yang dengan segera menutup kotak kemasan itu setelah mengeluarkan mug di dalamnya tanpa dosa. Aku yang hanya bisa diam terpaku melihat Koh Liu setengah berlari mengejar pekerjanya yang mungkin sedang mabuk polusi.

            “AMSYONG!! AMSYONG GUE!!!” Teriak Koh Liu berulang. Makin lama makin meredam. Setelah benar-benar hening dari teriakannya, Koh Liu kembali masuk ke dalam sambil memijat-mijat dahinya. Semua orang yang sedang menyaksikan kejadian barusan jelas tahu, Koh Liu bukan sedang sakit kepala. Dengan enggan aku berpamit pulang kepadanya. Jelas merasa bersalah, tapi harus diapakan lagi? Mungkin dalam benaknya sudah tergambar sebuah penolakan besar atas maha karyanya, dengan tuntutan pengembalian uang penuh tentunya.

            Setengah hari berlalu, masih terpikirkan nasib Koh Liu dan pesanannya yang tak sengaja tercampur kopi. Entah apa komentar yang keluar dari pemesannya saat ini. Maki-makian jenis apa yang sedang mereka lontarkan. Lamunanku siang itu dipenuhi kebun binatang dan kotoran-kotoran berbagai jenis makhluk hidup.

            “Kok melamun? Nanti pelanggannya pada pergi, lho.” Suara renyah yang berasal dari dapur itu jelas sekali milik siapa. Memang bukan obat merah, tapi kelembutannya bisa menghentikan kebocoran darah.

            “Eh? Mbak kasirnya kok jam segini baru datang?” Kubalas candaanmu yang sedang menyeka keringat di dahi. Terlihat letih namun tetap menegarkan diri karena pekerjaan rumah yang biasa kita bagi sekarang menjadi tanggunganmu sendiri. Terusan cokelat muda selutut dan cardigan putih yang ditarik sebatas siku menjadi seragam kerjamu hari ini.

            “Baru datang apanya, kalo aku turun ke bawahnya dari tadi terus nanti siang kita mau makan apa?”

            “Nih, biji kopi setoples. Kalo belum kenyang temennya masih sekarung di belakang.”

            “Nggak mau, ah. Bikin masuk angin. Oh, iya, nanti malam kamu di suruh Koh Liu ke tempat dia. Tadi dia nitip pesan pas aku mau buang sampah.”

            Waduh! Mampus! Pikiranku langsung melayang kemana-mana. Membuat fantasi sesosok Koh Liu sedang menamparku sekuat tenaga hingga terkapar. Katamu Koh Liu pernah bercerita soal pengalamannya belajar Wushu di kaki gunung. Semenjak tahu soal itu, aku selalu berhati-hati agar tak mencari perkara dengannya. Pagi ini, justru pelanggannya yang tak berhati-hati yang membawa masalah untukku.

            Malam harinya aku membawakan teko berisi kopi panas ke kedai Koh Liu. Sekedar basa-basi agar undangannya tak terlihat sebagai alasan tunggal aku ke sana. Dia sudah menunggu sejak matahari terbenam tadi. Duduk di meja bundar yang letaknya di luar atap kedai, subtitusi atapnya hanya sebuah payung besar yang tertancap di tengah-tengah meja. Dengan kaos berlambang partai politik dan celana pendek sepahanya, Koh Liu duduk bak kaisar yang sedang menunggu prajuritnya menyampaikan kabar perang.

            “Ha! Akhirnya elu orang datang juga. Sini duduk, ada yang mau gue omongin sama elu. Itu kopi baunya udah sampe sini duluan, gak sabar gue mau cicip langsung.”
           
            “Anu, Koh, soal yang tadi pagi itu, saya mau minta maaf. Biar saya ganti berapa ruginya tadi, Koh.”

            “Rugi gundulmu?! Gue justru dapat borongan pesanan gara-gara elu punya kopi gak sengaja kecampur sama eskrim tadi. Mereka bilang rasanya unik. Eskrim tapi kayak kopi, kopi tapi kayak eskrim. Gue mau minta tolong sama elu, besok pagi gue pesan dagangan elu itu satu teko ini lagi, ya!” kalimatnya yang bercampur tawa membuatku keheranan cukup lama. Ekspresi Koh Liu yang bercerita panjang lebar dengan senyum yang tak kalah lebar berbanding terbalik dengan matanya yang menyipit dan nyaris hilang ketika tertawa terbahak-bahak. Malam itu, aku mabuk rupiah mendapati bayaran tunai dari Koh Liu untuk pesanannya besok pagi.

            Kembali ke ranjang dengan berita gembira memang menyenangkan. Melihatmu tertawa dan tersenyum seperti saat di pasar dini hari saat itu menjadi pengobat ampuh rasa letih selepas melayani puluhan orang yang membeludak saat jam makan siang tadi, berangsur sepi ketika sore hari, dan melonjak lagi menjelang pukul sembilan. Hari pertama kedai ini dibuka, tak sedikit yang langsung terpikat dengan pesonanya.

BRAAKKK!!!!

            Lantang dan menantang, seseorang membuka paksa pintu kedai di bawah. Kamu yang setengah tidur terlonjak kaget, meremas lengan bajuku penuh cemas. “Jangan kemana-mana. Tunggu di sini, aku mau lihat ke bawah sebentar.” Berbekal sebuah senter dan pisau dapur bergagang longgar, aku menuruni tangga yang mungkin juga ikut bergoyang, merambat dari getaran kakiku yang tak bisa diam.

            Suara gaduh terdengar dari bagian depan kedai. Tiga orang dengan siluet tersapu cahaya seneter sedang mengobrak-abrik susunan meja dan lemari-lemari. Di belakang mereka, menggeliat bayangan gelap yang menyelimuti akal sehatnya. Sayup-sayup dari kejauhan aku mendengar suara teriakan Koh Liu dan istrinya. Di ikuti tangisan berdarah milik Nyonya Lie, kemudian rintihan memohon ampun dari pegawai-pegawai warung song mie duapuluh empat jam miliknya. Hal yang berikutnya terlintas di kepalaku adalah mungkin saat ini giliran untuk suaraku yang menggema.

            Seorang pria berkulit hitam yang membawa golok menggulingkan semua meja dan membelah kursi-kursi yang ada menjadi berkeping-keping. Dua orang pria yang berbadan besar berlari ke arahku yang sedari tadi memperhatikan kebrutalan mereka. Entah kenapa yang aku pikirkan bukanlah kedai yang menjadi mimpi usahaku, atau bahkan keselamatanku sekalipun.

“MARTHAAA!!!!”

Teriakanku bersimbah darah segar. Volumenya perlahan-lahan menghilang tertutup cairan merah menyala. Mataku terasa berat, sangat berat. Seolah sedang mengalami narkolepsi. Si Hitam berjalan ke arahku dengan sepatu berujung baja khas Tentara Indonesia yang dapat dengan mudah aku kenali karena aku pernah memakainya pula. Dengan sekali ayunan, pelat baja di hidung sepatunya itu bertumbukkan dengan dahiku. Seketika itu aku merasakan rasa sakit dari arah yang lain. Dibarengi dengan bayangan sebuah tangan yang tebal dan besar terayun ke arahku.

Semuanya mendadak berputar. Berporos pada kepalan sekeras besi yang masih diayun-ayunkan pemiliknya ke sekujur tubuhku. Panas yang sedari tadi menggeluti lebam-lebam yang entah berapa jumlahnya mendadak menghilang. Berganti dingin yang tak kunjung padam. Semakin dingin ketika daging yang melekat di tulangku dilubangi secara paksa oleh logam mungil yang dimuntahkan revolver milik salah seorang dari mereka. Aku memejam tanpa daya. Berharap mereka menganggap aku tak lagi bernyawa.

            Pandangan redupku menangkap ayunan kaki mereka yang menjejak tangga menuju ke lantai atas, sementara derap langkahnya tak dapat lagi kudengar. Hanya dengingan panjang yang menemani usahaku untuk menggerakan ujung jari. Mencoba meraih pisau dapur yang tertancap sempurna ke lantai. Ada rasa frustasi yang menghinggap ketika seluruh tubuhmu tak mendengarkan lagi koordinasi dari otak. Semua menolak untuk diajak bekerja sama. Sampai sebuah lengkingan panjang memacu adrenalinku untuk melupakan semua luka yang sedari tadi menganga.

            Tubuhku terasa seperti bulu angsa yang tak bisa melawan ketika ditiup angin, ringan, sangat ringan, terlalu ringan. Kunaiki tangga dengan jejak lumpur yang ditinggalkan mereka. Nyaris seperti mendaki udara karena ringannya tak terasa lagi kaki menapak di lantai. Pandanganku menyapu seluruh ruangan di lantai satu. Dua dari mereka entah bagaimana caranya tahu-tahu sudah berada di bangunan sebelah, melompat dari jendela atau meniti pinggiran jeruji balkon bisa jadi opsi yang masuk akal. Meninggalkan seorang temannya yang mendobrak lepas pintu kamarku, diiringi dengan jeritan keduamu. Kaki-kaki yang seolah ditarik gaya asing untuk tak bergerak kupaksakan melangkah walau membuatku merintih tiap gerakan sendinya. Aku hanya bisa terdiam di mulut kamar ketika Si Hitam sudah berdiri di atas ranjang dengan tangan kanan menahan mulutmu untuk bungkam dibalik sebuah bantal. Piyama putih itu menggelepar kehilangan jatah oksigen primernya. Ketika sudah terkulai lemas, dengan sebuah ayunan kencang Si Hitam mengadu goloknya, membelah bantal  dan sesuatu di bawahnya menjadi dua bagian sama rata. Persis ketika kamu membelah dua semangka yang kamu beli di pasar dini hari. Bedanya, pisau buah berganti golok berdarah, semangka bundar berganti kepala dengan nyawa yang memudar.

            Ada semacam heroin yang melepaskan kekanganku dari rantai-rantai rasa sakit. Memberikan sebuah ledakan untuk menerkam Si Hitam dari punggungnya. Menggulingkannya ke bawah dalam sekali banting. Detik berikutnya yang aku tahu, aku sudah berada di samping ranjang, di atas Si Hitam yang pakaiannya setengah terbuka. Matanya yang tadi membuat nyaliku ciut kini justru terpejam mengkerut. Mungkin aku sedang berhalusinasi, pisau yang tadi menancap di lantai, sekarang menancap di hati, goloknya yang tadi digenggam erat di tangan kiri, sekarang digigit kuat merobek pipi.


            Ketika adrenalin berangsur habis, kembali kurasa berondongan luka meminta diperhatikan. Seperti dikerubungi satu koloni semut api yang disiram minyak tanah, seluruh tubuh seolah digigiti hingga ke tulang, merambat sampai organ dalam. Cahaya terakhir yang kutangkap sebelum menggelap hanya senyummu yang memudar, sebagian tertutup bantal putih bercorak merah.

No comments:

Post a Comment