“lihat
deh, bukunya bagus!” perempuan dengan bola mata coklat muda bersemburat hitam
iu menyodorkan sebuah buku tebal—sekitar enam ratus halaman mungkin—ke depan
wajahku, mengayun-ayunkannya pelan agar aku tak segera mengambil dan membaca
sinopsisnya. Dia sepertinya bisa menerka apa yang akan aku katakan jika membaca
bagian belakang buku dengan sampul kombinasi warna cerah itu.
“jangan!
Kalo kamu baca entar aku nggak jadi beli lagi.” Bibirnya dikatupkan kedepan,
mirip gaya selfie anak-anak muda
zaman sekarang.
“pasti
gara-gara ada gambar menara karatan itu kan? Bukannya kamu sudah punya belasan
yang seperti itu di rak bukumu? Cerita cinta dengan latar belakang Paris, apa
menariknya?”
“cowok
yang hatinya dingin kayak kamu gak bakal bisa ngerti soal kisah cinta yang luar
biasa. Kamu taunya cuma soal darah, pisau, kaliber berlapisnya revolver, setumpuk trik pembunuhan,
metode-metode deduksi, dan segala macamnya.” Caranya berbicara tak kalah cepat
dari sebuah peluru yang dimuntahkan senapan laras panjang. Sambil berbalik
menghadap ke deretan-deretan buku dengan tulisan ‘novel terjemahan’ di atas
raknya, dia dengan nada yang ditinggikan tak henti-hentinya mengomentari selera
bacaanku. Seperti sebuah jumbojet
yang kehilangan tuas remnya.
“kamu
itu coba deh sekali-kali baca buku yang ada kasih sayangnya. Kalo baca buku
bunuh-bunuhan gitu terus, lama-lama kamu juga bisa jadi pembunuh kali.” Dia
tertawa pelan sambil meremas lengan kananku. Senyumnya yang tipis terlihat
mengintip dari sela pipinya yang kemerahan. Saat demam pun dia masih lebih
pintar melucu dariku.
“aku
sudah pernah baca buku-buku semacam itu, kok. Aku baca sampai habis bukumu yang
tertinggal di jok belakang minggu lalu, tentang seorang pria yang mencoba
melompat dari balkon rumahnya untuk bunuh diri tapi gagal karena bujukan
seorang wanita yang bahkan belum pernah dia temui.”
“benarkah?
Lalu bagaimana menurutmu ceritanya, bagus kan?” dia membalik badan. Menunggu
ekspresi ketertarikan macam apa yang akan aku tunjukan.
“menurutku,
kamu sengaja ninggalin buku itu biar aku baca selagi nungguin kamu pergi shopping dengan mama kamu.” dahinya
mengernyit mendengar jawabanku. Dia tiba-tiba saja tertawa terbahak-bahak
sambil menutupi mulutnya dengan sebelah tangan.
“kamu
kenapa serius bener sih jadi cowok? Setiap hal kamu pikirin sejauh itu. Nanti
otak kamu capek loh. Nanti kalo otaknya capek bisa-bisa jadi cepet tua.
Hiii...” bahunya dinaikan seolah ingin menakuti. Tangannya melonggarkan sedikit
ikatan dasi yang memang selalu aku pakai sampai ke atas agar terlihat rapi.
“rapi
bener. Ini lagi nge-date, loh, bukan
lagi nyerahin tugas kimia yang sering kamu tinggalin itu.” Tangannya lalu
mengacak-acak rambutku yang masih tertata rapi untuk menghindari razia dadakan
tadi pagi. Aku sedikit berputar arah menghadap jendela, mendapati siluet diriku
dengan rambut mirip Gohan yang berubah menjadi Super Saiyan.
“eh,
sini-sini liat deh!” tangannya—yang kontras dengan punyaku yang penuh kapal di
bagian ujung jari karena terlalu sering beradu dengan dawai gitar—menarik
lenganku sambil menunjuk-nunjuk sebuah buku yang sedikit mengganjal judulnya.
“
‘when zombie went to paris, he fall in
love’? Kenapa kamu selalu suka buku yang bahkan judulnya nggak masuk akal
kayak gini?” Kulipat kedua tanganku di depan dada, memasang tampang berpikir
namun tak terlalu dalam. Entah apa yang merasuki pengarang buku ini. Terlalu
banyak aturan yang dia langgar. Terlalu banyak ketentuan yang dibelokkannya.”
“zombie
mana bisa jatuh cinta. Mau mikir aja susah, apa lagi jatuh cinta.”
“cinta kan nggak butuh mikir. Butuhnya cuma perasaan doang. Makanya, kamu harus perdalam lagi soal masalah cinta-cintaan.”
“yang
nama zombie itu taunya cuma makan sama makan. Buang air aja nggak kan. Mana
bisa zombie ngerasain cinta lagi. Hatinya udah kering gitu.”
Berbagai
komentar terlontar selama berpuluh-puluh menit dari pikiran kami. Seorang
pegawai yang sedang merapikan susunan buku sampai terheran-heran dengan gelak
tawa kami yang kadang tiba-tiba pecah dan memenuhi sudut toko buku yang sedang
sepi itu. Jam segini memang jarang ada orang
yang pergi ke toko buku. Terlalu pagi untuk istirahat makan siang, terlalu
siang untuk jam masuk pagi. Kebetulan saja guru-guru di sekolahku mengadakan
rapat mendadak karena sebuah kendala serius menghambat persiapan ujian sekolah.
“kalo
misalnya ada zombie beneran kamu mau ngapain?” tanyanya sambil menyandarkan
punggungnya di lenganku yang sedang melamun melihat kendaraan yang
berlalu-lalang.
“mungkin
aku akan mengambil beberapa butir peluru yang selalu diselipkan ayah di dalam
saku jas kerjanya. Jika beruntung, sekali tembakan tepat di bagian dahi.”
Tanganku membentuk sebuah model handgun
dan mendorong kepalanya di bagian dahi dengan telunjuk yang pura-puranya
menjadi laras senjatanya.
“kalo
aku, mungkin aku akan lari ke Paris. Siapa tau nanti ada zombie yang ternyata
beneran bisa jatuh cinta.”
“ya, menurutku yang satu itu mungkin saja bisa terjadi.”
“bagaimana
bisa?”
“aku
yang berubah menjadi zombie mengejarmu hingga ke bawah Eiffel dan jatuh cinta
sekali lagi denganmu.” Aku duduk bersandar di bagian samping sebuah rak buku
yang menghadap ke jalanan. Dia mengikuti. Speaker
di sudut ruangan sedang memaikan lagu falling
in love at a coffee shop, mendadak aku jadi ingin menyeruput beberapa
cangkir Espresso.
“ke
seberang sana, yuk. Daripada jauh-jauh ke tempat favorit kamu itu. Kopinya
sama-sama item juga kan.” Dia menarikku berdiri. Perempuan paling pengertian
ini sepertinya paham betul isi kepalaku.
“nggak
jadi beli buku yang zombie-zombiean tadi? Aku kira kamu suka bukunya.”
“nggak,
ah. Aku beli buku yang tadi aku tunjukin ke kamu aja. Ngapain beli buku soal
zombie kalo aku udah punya yang beneren di sini?” dia tertawa tertahan sambil
meraih sebuah buku yang letaknya cukup tinggi.
“kamu
beneran mirip zombie ya. Ketawa aja susah bener. Yang barusan itu lucu baget
loh.” Godanya sambil berjalan ke arah meja kasir, meninggalkanku yang masih terpaku
dengan buku berzombie tadi. Mirip ya?
When zombies are exist, and you
still alive. You have two choice, to be a brave one or die as a zombie –Miss.
Green (i rather to be a zombie if that can give me a chance to falling in love with her again, Miss.)
oh, you will re-think about that someday.
ReplyDeletei hope not, but, everybody will learn more about life while they're growing up. in this case, soon, i will take back my last words. there's noting that i can do about that. you got me this time.
DeleteCeritanya bagus. Ini cerpen atau flash fiction, kak? Kalau boleh tanya2.. Gohan itu siapa? Tolong jgn suruh saya googling ya, ehehehe *peace! Main2 jg ke blog saya ya: interleaved.blogspot.com :)
ReplyDeletecerpen atau flash fiction? hmm.. coba dihitung, Miss. kata sebagian orang, flash fiction itu kurang dari dua ribu kata. pegel, pegel deh sana. ahahaha, just forgive me.
Deletenggak kenal Gohan? wah, Miss, masa kecilnya pasti kebanyakan dihabisin nonton Baka-bon sama Arale. coba deh intip sedikit Dragon Ball.
ah, your blog, beautiful one, Miss.