Saturday, 22 March 2014

kenapa cinta tak harus saling memiliki?



            Lengkingan panjang seperangkat elektrokardiogram membangunkan ku dari sebuah mimpi buruk. Seorang pria paruh baya tertidur pulas di sebelah ku. Bibirnya kering sedikit pucat. Aku berguling sedikit menjauhinya, mencoba turun dari ranjang putih yang penuh noda kekuning-kuningan—seperti bekas lendir menjijikkan yang dibiarkan lama mengering.

            Pagi ini tak sesepi biasanya. Koridor dengan puluhan pintu berkaca buram di tiap sisinya tampak lenggang. Hanya beberapa kursi roda yang sesekali berlalu-lalang. Bosan berdiam tampaknya membuat mereka tak bisa diam. Kemana keramaian pergi? Kemana hiruk-pikuk dan jeritan tangis berlari? Sudah sekian lama aku tak pernah merasa sesepi ini. Bahkan  kesedihan pun meninggalkan tuannya.

Sekedar memecah keheningan, ku mainkan biola lama milik Si Tua Vivaldi. Aku yakin dia tak akan keberatan jika satu atau dua pegs-nya tak sengaja aku patahkan ketika menyetel biola sumbangnya ini. Lagi pula tangannya yang sekarang—hanya bersisa rekatan tulang dengan sendi seadanya—tak bakal mau lagi menyentuh busur biola. Bersandar pada bingkai jendela kusam yang ditempeli debu-debu kasar, kuhidupkan kembali Landon Pigg dan kenangan-kenangan di dalamnya.

I think that possibly, maybe I'm falling for you.
Yes there's a chance that I've fallen quite hard over you.
I've seen the paths that your eyes wander down, I want to come too.

            Sebuah lagu yang sering dimaikan mantan penghuni kamar sebelah cocok sekali dengan cuaca hari ini. Dia kerap kali bercerita panjang lebar tentang kekasihnya. Kadang dia merincikan sebuah kedai kopi favoritnya di pinggiran kota. Bocah yang baru belasan tahun itu selalu berurai air matanya tiap kali mengecap melodi lagu ini. Kadang ia bercerita dalam tidurnya. Mengigau, tapi sangat jelas. Seperti seorang pelaut yang baru saja menghabiskan Vodka terakhirnya, ia bercerita dengan mata terpejam, sambil tangannya menggapai-gapai langit, kadang mencoba membuat gestur yang menggambarkan keanggunan wanitanya.

No one understands me quite like you do
Through all of the shadowy corners of me

            Kadang aku merindukan untuk masuk kedalam tubuhnya sekali lagi. Merasakan perasaan yang paling rumit sedunia. Beberapa kali aku hidup di dalam mimpinya, tak sekalipun aku berhasil memecahkan pertanyaan paling aneh yang sering kali dilontarkannya tiap kali kami berbincang. Dia bilang orang seperti aku akan paham bagaimana menjawabnya. Ketika aku berada di dalam kepalanya, aku tetap saja merasa bodoh. Tak mampu menjawab berbagai tanya yang diberikannya. Dia membiarkan ku memasuki hidupnya, mulai dari otak besar, sampai ke bagian otak kecil. Aku menikmati tiap jengkal memori yang dimilikinya. Mencabut potongan-potongan film pendek itu dari balik kepala yang rambutnya mulai menipis.


If I didn't know you, I'd rather not know
If I couldn't have you, I'd rather be alone

            Tapi sekarang aku mulai paham. Pertanyaan yang ia ajukan sesaat sebelum isi kepalanya berganti status sebagai makan malam. Ketika ia bertanya kenapa cinta tak harus memiliki, saat ia bertanya kenapa cinta sejati tak bisa disatukan. Jika sekali lagi ia bertanya, kenapa cinta tak bisa dimiliki olehnya—laki-laki yang hatinya meluap karena perasaan yang kuat, namun hiidupnya lemah karena tak seberuntung penghuni dunia lainnya, aku sudah bisa menjawab.

            Jika cinta harus selalu memiliki, entah berapa banyak perang yang harus diberi nama. Ketika cinta harus mengalah dengan keadaan, relakanlah. Karena bentuk terbesar dari mencintai seseorang adalah merelakannya untuk memperbaiki keadaan.