Lengkingan panjang seperangkat elektrokardiogram
membangunkan ku dari sebuah mimpi buruk. Seorang pria paruh baya tertidur pulas
di sebelah ku. Bibirnya kering sedikit pucat. Aku berguling sedikit
menjauhinya, mencoba turun dari ranjang putih yang penuh noda
kekuning-kuningan—seperti bekas lendir menjijikkan yang dibiarkan lama
mengering.
Pagi ini tak sesepi biasanya.
Koridor dengan puluhan pintu berkaca buram di tiap sisinya tampak lenggang.
Hanya beberapa kursi roda yang sesekali berlalu-lalang. Bosan berdiam tampaknya
membuat mereka tak bisa diam. Kemana keramaian pergi? Kemana hiruk-pikuk dan
jeritan tangis berlari? Sudah sekian lama aku tak pernah merasa sesepi ini.
Bahkan kesedihan pun meninggalkan
tuannya.
Sekedar
memecah keheningan, ku mainkan biola lama milik Si Tua Vivaldi. Aku yakin dia
tak akan keberatan jika satu atau dua pegs-nya
tak sengaja aku patahkan ketika menyetel biola sumbangnya ini. Lagi pula
tangannya yang sekarang—hanya bersisa rekatan tulang dengan sendi seadanya—tak
bakal mau lagi menyentuh busur biola. Bersandar pada bingkai jendela kusam yang
ditempeli debu-debu kasar, kuhidupkan kembali Landon Pigg dan kenangan-kenangan
di dalamnya.
I think that possibly, maybe I'm falling for you.
Yes there's a chance that I've fallen quite hard
over you.
I've seen the paths that your eyes wander down, I
want to come too.
Sebuah lagu yang
sering dimaikan mantan penghuni kamar sebelah cocok sekali dengan cuaca hari
ini. Dia kerap kali bercerita panjang lebar tentang kekasihnya. Kadang dia
merincikan sebuah kedai kopi favoritnya di pinggiran kota. Bocah yang baru
belasan tahun itu selalu berurai air matanya tiap kali mengecap melodi lagu
ini. Kadang ia bercerita dalam tidurnya. Mengigau, tapi sangat jelas. Seperti
seorang pelaut yang baru saja menghabiskan Vodka terakhirnya, ia bercerita
dengan mata terpejam, sambil tangannya menggapai-gapai langit, kadang mencoba
membuat gestur yang menggambarkan keanggunan wanitanya.
No one understands me quite like you do
Through all of the shadowy corners of me
Kadang aku
merindukan untuk masuk kedalam tubuhnya sekali lagi. Merasakan perasaan yang
paling rumit sedunia. Beberapa kali aku hidup di dalam mimpinya, tak sekalipun
aku berhasil memecahkan pertanyaan paling aneh yang sering kali dilontarkannya
tiap kali kami berbincang. Dia bilang orang seperti aku akan paham bagaimana
menjawabnya. Ketika aku berada di dalam kepalanya, aku tetap saja merasa bodoh.
Tak mampu menjawab berbagai tanya yang diberikannya. Dia membiarkan ku memasuki
hidupnya, mulai dari otak besar, sampai ke bagian otak kecil. Aku menikmati tiap
jengkal memori yang dimilikinya. Mencabut potongan-potongan film pendek itu
dari balik kepala yang rambutnya mulai menipis.
If I didn't know you, I'd rather not know
If I couldn't have you, I'd rather be alone
Tapi sekarang
aku mulai paham. Pertanyaan yang ia ajukan sesaat sebelum isi kepalanya
berganti status sebagai makan malam. Ketika ia bertanya kenapa cinta tak harus
memiliki, saat ia bertanya kenapa cinta sejati tak bisa disatukan. Jika sekali
lagi ia bertanya, kenapa cinta tak bisa dimiliki olehnya—laki-laki yang hatinya
meluap karena perasaan yang kuat, namun hiidupnya lemah karena tak seberuntung
penghuni dunia lainnya, aku sudah bisa menjawab.
Jika cinta harus selalu memiliki,
entah berapa banyak perang yang harus diberi nama. Ketika cinta harus mengalah
dengan keadaan, relakanlah. Karena bentuk terbesar dari mencintai seseorang
adalah merelakannya untuk memperbaiki keadaan.