27 Oktober 2005
Berbeda dengan
delapan bulan lain yang telah lalu, oktober kali ini lebih banyak menyuguhkan
cerita. Padahal sebagian besar harinya gue lalui dengan tidur, tapi gue tetap
bisa menarik berbagai kesimpulan dari beberapa kejadian di tiap oktober tahun ini.
Gue gak ngomongin soal kejadian yang berbau politik atau hukum, bukan juga soal
anak belum puber yang abis tumburan. Ini lebih kurang soal beberapa patahan di
organ yang ambigu; hati.
Yup, lagi-lagi
gue ngomongin soal masalah putus-memutus hubungan. Karena emang kayaknya hal
ini yang terjadi di sekitar gue. Atau mungkin, imajinasi udah nge-blur-in semua masalah yang baik-baik
dari mata gue. Dari sekian banyak pesan hitam di bulan Oktober, satu yang cukup
menyita perhatian gue. Sebuah pesan pelajaran dari sepasang kekasih yang
terpaut jarak usia. Waktu menjadi dinding abadi untuk mereka.
23 Oktober 2005
“kak, masih
lama jemputnya? Aku pulang sendiri aja ya.”
Telinga gue
menangkap sebuah gelombang suara super merdu yang seketika membuyarkan lamunan
gue. Gue menoleh sedikit ke samping, tetap berhati-hati agar pemilik suara tadi
nggak merasa diliatin cowok dengan air muka semi-mesum. Sepersekian detik setelah
gue ngeliat mukanya gue langsung inget kalo gue ketemu dia di sini kemarin. Ini
kedua kalinya gue ketemu dengan mahasiswi ekstra unyu ini di halte bus deket
sekolah. Dari tingkat ketebalan buku yang dia dekap di dadanya, pasti anak
kedokteran. Dan dari nada bicara dia yang komposisi semangat hidupnya masih
banyak, pasti baru semester awal. Mungkin sekitar 19 atau 20 tahunan.
Bus yang gue
tunggu udah keliatan dari jauh. Makin lama maikin dekat, sampe bus itu udah
benar-benar berenti secara total. Pintunya pas baget berenti di depan gue.
Sebagai pelajar teladan, gue melompat masuk ke dalem bus yang masih sesak peuh
penumpang yang mau turun. Alhasil, gue kalah badan sama mereka yang sukses
nyeret gue balik keluar bus. Gue nyerah. Gue memilih untuk masuk belakangan. Ternyata
gue satu bus sama cewek tadi. Sebelahan pula. Dia duduk di deket kaca,
sementara gue duduk di undakan depan pintu. Nggak, maksudnya gue duduk di kursi
deket jalan di sebelahnya. Posisi gue cukup dekat untuk mendengar semua keluh
kesah yang coba dia ungakpin ke orang yang gue tebak adalah pacarnya. Sepanjang
jalan dia Cuma monolog sama kaca bus yang sedikit burem setelah beberapa kali
dikerok pake benda tajam untuk ngilangin bekas-bekas coretan tipex seniman pelajar yang over-kreatif.
Dan selama perjalanan itu pula gue menjadi pendengar secara diam-diam.
Dia memulai
sesi curhatnya, persis dengan ibu-ibu gaul yang mau curhat dengan mama dedeh.
Bedanya, dia gak teriak “curhat dong, jok!” ke kursi di depannya yang dia
jadiin samsak pukulan combo galaunya. Dia mengeluh soal keseriusan pacarnya
yang menurut dia kelewat batas. Gue sempat berfikir kalo dia udah mau dilamar
pas masih SMP, tapi gue langsung buru-buru mikirin hal lain. Cowoknya ini
menurut dia terlalu hyper-super-protective.
Bahkan sore ini dia harus rela pulang naik bus umum plus duduk di sebelah
pelajar autis yang ngelamun sepanjang jalan gara-gara cowoknya gak ngebolehin
dia pulang sama temennya. Temen cowoknya, dia nambahin. In antoher moment, mereka bahkan pernah berantem di lobby bioskop gegara cewek malang ini
gak kunjung ngenalin pacarnya ke orang tuanya.
18 Oktober 2005
Lorong
dengan banyak bingkai poster yang tergantung di sisi-sisinya itu tak lagi
hening. Sebuah pertengkaran (bersuara) kecil mendadak pecah secara diam-diam di
salah satu sudutnya.
“jadi, kapan
kamu mau kenalin aku sama orang tua kamu?”
“kenapa sih
mesti ngebahas ini mulu tiap kali ketemu? Kamu kan tau kalo aku udah bawa kamu
ke rumah, berarti aku udah serius sama hubungan.”
“emang
seharusnya kamu serius dengan ‘kita’ kan? “
“maksudnya married, kak. Adat keluarga aku beda
dengan kamu. Di keluarga aku, kalo udah kenalin pacar ke rumah, berarti dia
udah siap ke tahap selanjutnya.”
“bukannya
emang itu tujuan kita? Aku udah siap kok. Aku udah mapan. Aku kurang apa buat
kamu?”
“aku yang
belum siap. Aku yang kurang buat kamu. Lagian aku masih harus belajar. Aku
masih punya beberapa semester lagi buat diselesaiin. Aku juga udah punya
rencana buat ngambil S2. Lagi pula, aku belum terlalu serius sekarang.”
“tapi aku
serius. Bukannya tujuan kamu nerima pernyataan cinta aku dua tahun lalu itu
untuk serius? Lalu untuk apa selama ini kalau bukan untuk serius?”
“have fun?”
“aku ngerasa bodoh udah kemakan semua
omongan kamu. Sudahlah.”
“eh, mau
kemana?”
“mau cari yang
lebih serius.”
“terus
filmnya? Aku udah lama pengen nonton Harry Potter yang ini. Goblet of Fire kata
temen-temen aku lebih seru dari yang sebelumnya.”
“kamu emang
gak pernah bisa serius ya?”
“....”
Setiap
pasangan biasanya memulai suatu hubungan dengan tujuan have fun. Cuma kadang di tengah-tengah cerita, sejalan dengan
waktu, salah satu dari mereka mulai kehilangan fun sense-nya dan perlahan lahan mengikuti perasaan untuk menjadi
lebih dewasa dengan hubungan. Dengan kata lain, they lost their funny moment when the serious one start speaking about
his opinion. Hubungan beda usia salah gak? Itu yang sekarang lagi gue coba
untuk cari tau.
27 Oktober 2005
“ngelamun
mulu. Mikirin apa sih? Kok diem?”
Suara
melodis itu lagi-lagi ngebuyarin imajinasi super gue dengan pertanyaan yang gak
mungkin gue jawab dengan jujur. Paling banter juga Cuma jawab ‘gak ada’ kayak
biasa tiap gue ketangkep lagi ngelamun di deket dia. Ya mana mungkin gue bilang
‘lagi ngelamunin cara kamu ditinggalin mantan kamu pas di bioskop kemaren.’
Bisa-bisa sekarang gantian gue yang ditinggalin dia.