Thursday, 26 June 2014

mengenal diri dari secangkir kopi

            Setiap orang memiliki lidah yang berbeda-beda. Dalam hal memilih cara menyajikan kopi pun pasti terdapat beragam suara. Saat kita sedang melihat papan atau buku menu di cafe-cafe, kita kerap kali berulang-ulang membaca deretan beragam minuman yang berbahan dasar sama—kopi, padahal sebenarnya kita sudah bisa menentukan pilihan sejak awal. Sebagian beralasan karena kebiasaan, sebagian lagi beralasan lagi survive di tanggal tua. 

1.      Kopi Hitam

Nggak sedikit orang yang sudah jatuh cinta dengan yang satu ini. Bahkan Kopi Hitam dapat disetarakan kedudukannya dengan kebutuhan karbohidrat sehari-hari. Kalo nggak nyeruput kopi item rasanya kayak ada yang kurang aja. Kebanyakan penikmat Kopi Hitam adalah mereka yang memiliki jiwa pekerja keras. Dalam hal kepemimpinan tidak dapat diragukan lagi kemampuannya. Namun di balik tampilan aslinya, si Kopi Hitam ini memiliki cerita-cerita pahit yang membuatnya semakin matang untuk menjalani hidup.

2.      Espresso
Aroma, kekentalan, dan cita rasa asal Italia. Kopi tanpa ampas yang jadi gebetan nomer satu para pencandu kopi. Espresso bisa jadi berpenampilan sederhana. Namun, pembawaannya yang tenang justru kadang dapat menghanyutkan kita dalam suasana perbincangan dengannya. Espresso sendiri sebenarnya memiliki rasa manis alami tanpa harus ditambahkan gula. Persis seperti orang yang dengan sepenuh hati dapat merasakannya.

3.      Cappuccino
Berbahan dasar Espresso yang ditambahkan steamed milk dan creamer. Cappuccino lengkap disajikan dengan taburan cokelat bubuk atau kayu manis di atasnya. Penyajiannya yang menarik memberikan kesan genit di mata tamu-tamu yang memesan. Cappucinno menuntut penampilan yang sempurna. Jika cara penyajiannya sembarangan atau berantakan, bisa-bisa nggak jadi diminum. Biasanya kita akan menemukan sifat yang datar pada orang-orang yang terpikat oleh Cappuccino. Mengikuti arus dan cenderung tidak ingin menonjolkan diri.

4.      Latte
Dibuat dari campuran Espresso dengan susu panas yang jatuh ke ladang gandum dan, pow! Jadilah Koko Cruch dituang sebanyak ¾ gelas, kemudian diberi buih susu di atasnya. Dengan jumlah susu yang lebih banyak, membuat Latte memiliki rasa yang gurih namun tetap dengan ciri khas kopi. Seperti halnya senyuman yang selalu kokoh membendung banjir air mata. Menyembunyikan perasaan memang keahlian penikmat Latte garis keras. Tapi, namanya juga kopi. Mau manisnya sebanyak apa juga tetep aja ujungnya rada-rada pait.

5.      Mochacinno
Alias Café Mocha. Sebagian penggila cokelat mungkin sudah nggak asing lagi sama Mochacinno. Gimana nggak, dalam proses pembuatannya, Espresso dicampur dengan cokelat panas yang harus sangat kuat dan pekat. Penekanan kata "harus" nenunjukan sifat perfeksionis Mochacinno. Segala sesuatu harus berjalan sesuai dengan apa yang ada di kepalanya. Ada yang salah sedikit, bisa-bisa orang lain yang kena imbasnya. Tapi, proses pembuatannya gak sampe di situ aja. Masih ada susu panas yang bakal dicampurin. Susu panas yang bakal bikin mochacinno kelihatan anggun dengan buih-buih di permukaannya. Jangan salah, di balik sikap keras kepala dan serba sempurnanya, Mochacinno tetap memiliki sisi kelembutan yang luar biasa. Mirip dengan whipped cream dan kayu manis yang biasa ditambahkan belakangan.


            Masih banyak lagi sebenarnya cara-cara penyajian atau jenis-jenis minuman berbahan dasar kopi yang sejak lama sudah mainstream di lingkungan kita. Dari mulai yang tradisional punya, kayak Kopi Tubruk yang masak kopinya barengan sama gula. sampe yang sudah mendunia, sekelas Americano atau Macchiato yang cara bikinnya lebih modern. Tapi rasa tetaplah rasa. Selama itu bisa menuhin selera seorang pecinta kopi, bodo amat mau kotoran luwak ato panda.

The main thing that we should know is dont judge people by their cover. Judge by their coffee.

Saturday, 21 June 2014

waiting



untuk perempuan dengan secangkir cokelat panas,

Apa kamu sudah lelah menunggu? Kepulan uap yang sedari tadi menemanimu mulai menipis. Cokelat panas itu sudah jenuh menunggu sambutan bibir pemesannya. Apa yang kamu tunggu orang yang sama dengan kemarin? Bukankah ia tak pernah mengisyaratkan akan kedatangannya? Lantas apa yang dinanti?

Samar-samar aku mendengar dengusan napas. Tapi, telingaku tak menangkap nada-nada keluhan yang mengalun. Kamu hanya menadahkan tangan sebelah kiri untuk melihat arloji tua. Ini kali ke sembilan sejak tirai pintu masuk dibuka dan kamu mulai menunggu dengan tenang. Setenang buih-buih di dalam cangkir yang menghilang sedikit demi sedikit.

Hari ini aku tak melihat topi dengan pinggiran lebar yang biasa kamu pakai. Aku memang belum lama tinggal di negeri ini. Tapi yang aku tahu, di sini seorang wanita dikatakan berpakaian lengkap apabila memakai topi dan sarung tangan, bukan? Apa mungkin di sini seorang wanita juga bisa merasa gerah menyelimuti diri dengan segala tradisi keanggunannya? Asal itu bisa membuat iris mata kebiruanmu bersanding dengan awan senja, aku tak akan memperdulikannya.

 Apa kamu masih mau menunggu? Ketika orang yang kamu tunggu hanya menyisakan lubang-lubang di sekujur tubuh dan goresan bekas bayonet di sepanjang arterinya, apa kamu masih sanggup menunggu? Jiwaku dipaksa terbang saat kutarik lepas tangan sebelah kanannya dari balik bongkahan batu yang menghempas setelah dilemparkan setinggi puluhan kaki oleh proyektil-proyektil besar. Bahkan sampai akhir napasnya pun, aku masih menjadi sahabat yang menyusahkan.

Aku dipulangkan setelah tak sanggup lagi melihat darah. Aku kembali dari garis depan ke tempat di mana aku pertama kali bertemu dengan kalian—sepasang manusia dengan kehidupan sederhana namun sesempurna cinta. Aku pulang dengan mengunyah peluru di mulut. Yang bisa kuberikan hanya kalung dengan sepotong tembaga bertuliskan namanya.

Apa kamu sudah siap untuk menunggu lebih lama, wanita tanpa topi dan teh?


Monday, 9 June 2014

Wanita Sempurna dengan Sekotak cinta



            Tidak ada yang lebih membosankan selain pergi sekolah seusai minggu-minggu ujian. Tak sedikit teman-temanku yang mencuri libur terlebih dahulu. Padahal masih seminggu  lagi sebelum hasil ujian dibagikan. Entah seberapa tinggi tingkat kepercayaan diri mereka untuk mendapatkan nilai sempurna sampai-sampai bisa pergi berlibur dengan tenang. Yah, bisa saja memang aku pergi bersama teman-teman dekatku yang lain berlibur ke kota di pinggir pantai atau mengikuti ekor ibuku dan sampai di sebuah rumah milik seorang pria sederhana di kaki gunung. Sayangnya aku sedikit berbeda dengan teman-temanku yang lain, yang menganggap creditcard seperti kartu tanda penduduk dari surga yang bisa menyelesaikan semua urusan di depan meja kasir, atau seperti ibuku yang tak pernah bosan terbang ke sisi lain pulau hanya untuk mengunjungi calon suaminya yang terlalu sibuk bekerja. Mereka meninggalkanku begitu saja dikelilingi tugas-tugas yang harusnya bisa lebih ringan jika setidaknya ada seorang saja yang tinggal untuk membantuku. Huh, teman akrab apanya! Sahabat dekat apanya!

Bisa dibilang aku sedikit perfeksionis untuk urusan nilai. Tugas tambahan, setumpuk makalah, lembaran-lembaran soal, semua demi nilai sempurna untuk melampaui pencapaian seorang anak laki-laki yang tak pernah aku tau siapa namanya. Hanya untuk melampaui hal-hal yang selalu terlihat sempurna saat disentuhnya. Aku memang tak pernah melihat buku rapornya, tapi dari raut wajahnya aku bisa menebak seberhasil apa dia di semua bidang. Kecuali olahraga sepertinya, sebuah pengecualian.

Predikatnya yang direndahkan orang-orang di sekelilingnya tak membuatnya bergeming sedikitpun dari sikap duduk diam dan tenang. Mungkin dia punya kekuatan super untuk tidak memperdulikan hal apapun. Hanya itu jawaban logis yang kudapatkan tiap kali dari kejauhan kudapati dia sedang asik merenung sambil membuka lembaran-lembaran bukunya. Seolah-olah mereka berkomunikasi. Seolah-olah buku itu berteman dengannya. Walau lelucon-lelucon konyol kerap didapatinya selama jam istirahat dan pulang sekolah, entah bagaimana dia bisa tetap terhanyut bersama tumpukan buku-buku anehnya. Mungkin dia memiliki dunia sendiri yang tak terjamah oleh tangan-tangan jahil dengan segala macam keisengan yang aku yakin dia pasti sudah hafal betul, mengingat seberapa seringnya ia dipermainkan.

            Dia memang sedikit berbeda dari yang lain, maksudku, tak seperti kebanyakan anak laki-laki lainnya yang tak ada bosan-bosannya menegur dengan antusias, atau mencoba membangun percakapan dan berseda gurau. Setahuku hanya satu kata yang pernah dia ucapkan padaku, “maaf”, itupun karena aku tak sengaja memotong jalannya sampai buku-buku bawaannya berjatuhan di lantai. 

Dia begitu menikmati hidupnya yang berat. Dihujani cemooh setiap harinya. Tapi dia masih saja bisa tersenyum ketika mengusap lembut permukaan kasar bukunya yang tak pernah berdebu. Pola pikir macam apa yang dia miliki? Apa menurutnya kebahagiaan hanya sesedarhana membaca buku klasik? Bagaimana dia bisa merasa begitu bahagia dengan hal-hal sederhana yang bahkan menurutku sangat sepele. Sedangkan aku, aku harus menyelesaikan gunungan tugas dari tiap-tiap guru mata pelajaran untuk mencapai setitik kebahagiaan mendapat nilai terbaik. Ah, he’s my kryptonite. Otakku serasa terkuras habis kapasitasnya hanya untuk mengamati pola pikirnya.

Setumpuk kata tanya berbaris di kepalaku siang ini, di bawah pohon tua yang hampir habis dimakan usia. Apa yang membedakan dia dengan ku sehingga mata kami berbeda? Apa yang salah? Bagaimana bisa ada yang salah? Di mana letak kesalahan yang aku perbuat? Kenapa.... kenapa aku terlalu perduli soal ini? Gumamanku terhenti ketika diajak berpikir lebih dalam oleh pertanyaan terakhir tadi. Kenapa harus perduli padanya, ah bukan, kenapa harus tertarik padanya. Ya, aku tertarik dengan caranya berteman. Walaupun bukan dengan manusia, setidaknya dia memiliki teman yang bisa mengerti perasaannya. Mungkin buku itu tidak bisa mengerti perasaan manusia, tetapi dia sangat yakin jika buku itu juga merasakan kepedihannya. Hanya perlu seperti itu dan dia merasa bahagia. Jangan bertanya soal teman-temanku. Mungkin mereka sekarang sedang mengelilingi pusat perbelanjaan atau menyedot sari kelapa muda bersama turis-turis mancanegara. Dan itu tidak bisa membuat mereka mengerti sedikitpun tentang isi kepalaku.

            Aku memandanginya dari balik antrian panjang di kantin sekolah. Menontonya dikerjai habis-habisan oleh berandalan-berandalan kaya di meja makannya. Aku terhanyut. Di balik tumpukan-tumpukan buku yang menutupi separuh wajahnya, aku masih bisa melihat sekilas bola mata coklat tua bersemburat emas dengan sorotan yang tajam. Kepedihan dan penghinaan mungkin menjadi pengasah yang baik selama hampir tiga tahun ini. Walaupun diselimuti kacamata tebal yang kerap menyilaukan tetap saja mat... eh, gawat, dia melihat ke sini. Ah, hampir. tidak lucu rasanya dipergoki orang yang sedang diam-diam kita perhatikan. Oh, I really hate that awkward slowmotion moment. Aku membalik badan dan duduk di kursi yang memunggunginya. Cukup beruntung kali ini aku sendirian. Tanpa teman-temanku yang sangat ribut dan tak bisa duduk dengan rapi, aku tak akan bisa menikmati makan siang sambil mengamati tingkah uniknya. Yang ku maksud unik adalah bagian di mana dia masih bisa menikmati santap siang tanpa terganggu sedikitpun dengan lemparan botol plastik atau semacamnya. Oh, aku bahkan tak bisa mengunyah jika ada yang berbicara di dekatku.

            Kembali ke balik dedaunan rimbun di bawah pohon tua tadi, hari ini aku resmi merasa kesepian. Monolog yang sedari tadi kubuat seolah-olah menambah rangsangan ke otak untuk menyadarkann betapa membosankannya hari ini. Sinar matahari melarangku melangkah ke ruang kesenian, padahal kelas paduan suara sudah dimulai sepuluh menit yang lalu. Biasanya aku akan sangat antusias untuk ikut melatih vokal. Bukan masalah minat atau bakat. Setidaknya aku bisa mengamati sosok misterius yang sangat dingin itu satu jam lebih lama dari hari biasanya. Kelas jurnalnya yang berseberangan dengan ruang kesenian tak jarang memberikanku kesempatan untuk mencari tahu tentangnya lebih banyak.

Walaupun hanya dalam diam, entah kenapa perasaan kecil ini terus tumbuh membesar, membelah, dan semakin banyak tiap harinya. Seperti pohon-pohon yang tinggi menjulang di tengah belantara kalimantan. Mereka tumbuh tanpa perawatan. Sama seperti perasaan ini, yang tumbuh hanya dengan mengikuti kehendak alam, tanpa ada yang berani memulai untuk perduli dan merawatnya. Ini bukan perasaan kasihan, atau bahkan kasih sayang. Mungkin ini perasaan iri yang tumbuh semakin tinggi, seiring semakin tingginya taraf-taraf kebahagiaan yang terpaku di langit.




"thanks to Ms. Green, who let me made a sequel of her old story. very enjoying to write and explore many things about this rare idea. feel so glad that i can learn about the other writer mindset. oh, if i can eat your brain, miss. read the another story of this at here."