Monday 9 June 2014

Wanita Sempurna dengan Sekotak cinta



            Tidak ada yang lebih membosankan selain pergi sekolah seusai minggu-minggu ujian. Tak sedikit teman-temanku yang mencuri libur terlebih dahulu. Padahal masih seminggu  lagi sebelum hasil ujian dibagikan. Entah seberapa tinggi tingkat kepercayaan diri mereka untuk mendapatkan nilai sempurna sampai-sampai bisa pergi berlibur dengan tenang. Yah, bisa saja memang aku pergi bersama teman-teman dekatku yang lain berlibur ke kota di pinggir pantai atau mengikuti ekor ibuku dan sampai di sebuah rumah milik seorang pria sederhana di kaki gunung. Sayangnya aku sedikit berbeda dengan teman-temanku yang lain, yang menganggap creditcard seperti kartu tanda penduduk dari surga yang bisa menyelesaikan semua urusan di depan meja kasir, atau seperti ibuku yang tak pernah bosan terbang ke sisi lain pulau hanya untuk mengunjungi calon suaminya yang terlalu sibuk bekerja. Mereka meninggalkanku begitu saja dikelilingi tugas-tugas yang harusnya bisa lebih ringan jika setidaknya ada seorang saja yang tinggal untuk membantuku. Huh, teman akrab apanya! Sahabat dekat apanya!

Bisa dibilang aku sedikit perfeksionis untuk urusan nilai. Tugas tambahan, setumpuk makalah, lembaran-lembaran soal, semua demi nilai sempurna untuk melampaui pencapaian seorang anak laki-laki yang tak pernah aku tau siapa namanya. Hanya untuk melampaui hal-hal yang selalu terlihat sempurna saat disentuhnya. Aku memang tak pernah melihat buku rapornya, tapi dari raut wajahnya aku bisa menebak seberhasil apa dia di semua bidang. Kecuali olahraga sepertinya, sebuah pengecualian.

Predikatnya yang direndahkan orang-orang di sekelilingnya tak membuatnya bergeming sedikitpun dari sikap duduk diam dan tenang. Mungkin dia punya kekuatan super untuk tidak memperdulikan hal apapun. Hanya itu jawaban logis yang kudapatkan tiap kali dari kejauhan kudapati dia sedang asik merenung sambil membuka lembaran-lembaran bukunya. Seolah-olah mereka berkomunikasi. Seolah-olah buku itu berteman dengannya. Walau lelucon-lelucon konyol kerap didapatinya selama jam istirahat dan pulang sekolah, entah bagaimana dia bisa tetap terhanyut bersama tumpukan buku-buku anehnya. Mungkin dia memiliki dunia sendiri yang tak terjamah oleh tangan-tangan jahil dengan segala macam keisengan yang aku yakin dia pasti sudah hafal betul, mengingat seberapa seringnya ia dipermainkan.

            Dia memang sedikit berbeda dari yang lain, maksudku, tak seperti kebanyakan anak laki-laki lainnya yang tak ada bosan-bosannya menegur dengan antusias, atau mencoba membangun percakapan dan berseda gurau. Setahuku hanya satu kata yang pernah dia ucapkan padaku, “maaf”, itupun karena aku tak sengaja memotong jalannya sampai buku-buku bawaannya berjatuhan di lantai. 

Dia begitu menikmati hidupnya yang berat. Dihujani cemooh setiap harinya. Tapi dia masih saja bisa tersenyum ketika mengusap lembut permukaan kasar bukunya yang tak pernah berdebu. Pola pikir macam apa yang dia miliki? Apa menurutnya kebahagiaan hanya sesedarhana membaca buku klasik? Bagaimana dia bisa merasa begitu bahagia dengan hal-hal sederhana yang bahkan menurutku sangat sepele. Sedangkan aku, aku harus menyelesaikan gunungan tugas dari tiap-tiap guru mata pelajaran untuk mencapai setitik kebahagiaan mendapat nilai terbaik. Ah, he’s my kryptonite. Otakku serasa terkuras habis kapasitasnya hanya untuk mengamati pola pikirnya.

Setumpuk kata tanya berbaris di kepalaku siang ini, di bawah pohon tua yang hampir habis dimakan usia. Apa yang membedakan dia dengan ku sehingga mata kami berbeda? Apa yang salah? Bagaimana bisa ada yang salah? Di mana letak kesalahan yang aku perbuat? Kenapa.... kenapa aku terlalu perduli soal ini? Gumamanku terhenti ketika diajak berpikir lebih dalam oleh pertanyaan terakhir tadi. Kenapa harus perduli padanya, ah bukan, kenapa harus tertarik padanya. Ya, aku tertarik dengan caranya berteman. Walaupun bukan dengan manusia, setidaknya dia memiliki teman yang bisa mengerti perasaannya. Mungkin buku itu tidak bisa mengerti perasaan manusia, tetapi dia sangat yakin jika buku itu juga merasakan kepedihannya. Hanya perlu seperti itu dan dia merasa bahagia. Jangan bertanya soal teman-temanku. Mungkin mereka sekarang sedang mengelilingi pusat perbelanjaan atau menyedot sari kelapa muda bersama turis-turis mancanegara. Dan itu tidak bisa membuat mereka mengerti sedikitpun tentang isi kepalaku.

            Aku memandanginya dari balik antrian panjang di kantin sekolah. Menontonya dikerjai habis-habisan oleh berandalan-berandalan kaya di meja makannya. Aku terhanyut. Di balik tumpukan-tumpukan buku yang menutupi separuh wajahnya, aku masih bisa melihat sekilas bola mata coklat tua bersemburat emas dengan sorotan yang tajam. Kepedihan dan penghinaan mungkin menjadi pengasah yang baik selama hampir tiga tahun ini. Walaupun diselimuti kacamata tebal yang kerap menyilaukan tetap saja mat... eh, gawat, dia melihat ke sini. Ah, hampir. tidak lucu rasanya dipergoki orang yang sedang diam-diam kita perhatikan. Oh, I really hate that awkward slowmotion moment. Aku membalik badan dan duduk di kursi yang memunggunginya. Cukup beruntung kali ini aku sendirian. Tanpa teman-temanku yang sangat ribut dan tak bisa duduk dengan rapi, aku tak akan bisa menikmati makan siang sambil mengamati tingkah uniknya. Yang ku maksud unik adalah bagian di mana dia masih bisa menikmati santap siang tanpa terganggu sedikitpun dengan lemparan botol plastik atau semacamnya. Oh, aku bahkan tak bisa mengunyah jika ada yang berbicara di dekatku.

            Kembali ke balik dedaunan rimbun di bawah pohon tua tadi, hari ini aku resmi merasa kesepian. Monolog yang sedari tadi kubuat seolah-olah menambah rangsangan ke otak untuk menyadarkann betapa membosankannya hari ini. Sinar matahari melarangku melangkah ke ruang kesenian, padahal kelas paduan suara sudah dimulai sepuluh menit yang lalu. Biasanya aku akan sangat antusias untuk ikut melatih vokal. Bukan masalah minat atau bakat. Setidaknya aku bisa mengamati sosok misterius yang sangat dingin itu satu jam lebih lama dari hari biasanya. Kelas jurnalnya yang berseberangan dengan ruang kesenian tak jarang memberikanku kesempatan untuk mencari tahu tentangnya lebih banyak.

Walaupun hanya dalam diam, entah kenapa perasaan kecil ini terus tumbuh membesar, membelah, dan semakin banyak tiap harinya. Seperti pohon-pohon yang tinggi menjulang di tengah belantara kalimantan. Mereka tumbuh tanpa perawatan. Sama seperti perasaan ini, yang tumbuh hanya dengan mengikuti kehendak alam, tanpa ada yang berani memulai untuk perduli dan merawatnya. Ini bukan perasaan kasihan, atau bahkan kasih sayang. Mungkin ini perasaan iri yang tumbuh semakin tinggi, seiring semakin tingginya taraf-taraf kebahagiaan yang terpaku di langit.




"thanks to Ms. Green, who let me made a sequel of her old story. very enjoying to write and explore many things about this rare idea. feel so glad that i can learn about the other writer mindset. oh, if i can eat your brain, miss. read the another story of this at here."

2 comments:

  1. I won't let you eat my brain! Happy to see someone wrote a sequel from my story! Absolutely i will read another story. If you dont mind, may i have a cup of mochacinno? I will so enjoy read your blog when i have a cup of coffee in my hand. Thankyou, before. Just keep writing!

    ReplyDelete
    Replies
    1. my pleasure, after! try to move it to your forehead for five minutes. tell me if you already done.

      Delete