Tidak ada yang lebih membosankan selain pergi sekolah seusai
minggu-minggu ujian. Tak sedikit teman-temanku yang mencuri libur terlebih
dahulu. Padahal masih seminggu lagi
sebelum hasil ujian dibagikan. Entah seberapa tinggi tingkat kepercayaan diri
mereka untuk mendapatkan nilai sempurna sampai-sampai bisa pergi berlibur dengan
tenang. Yah, bisa saja memang aku pergi bersama teman-teman dekatku yang lain
berlibur ke kota di pinggir pantai atau mengikuti ekor ibuku dan sampai di
sebuah rumah milik seorang pria sederhana di kaki gunung. Sayangnya aku sedikit
berbeda dengan teman-temanku yang lain, yang menganggap creditcard seperti kartu tanda penduduk dari surga yang bisa
menyelesaikan semua urusan di depan meja kasir, atau seperti ibuku yang tak
pernah bosan terbang ke sisi lain pulau hanya untuk mengunjungi calon suaminya
yang terlalu sibuk bekerja. Mereka meninggalkanku begitu saja dikelilingi
tugas-tugas yang harusnya bisa lebih ringan jika setidaknya ada seorang saja yang
tinggal untuk membantuku. Huh, teman akrab apanya! Sahabat dekat apanya!
Bisa
dibilang aku sedikit perfeksionis untuk urusan nilai. Tugas tambahan, setumpuk
makalah, lembaran-lembaran soal, semua demi nilai sempurna untuk melampaui
pencapaian seorang anak laki-laki yang tak pernah aku tau siapa namanya. Hanya
untuk melampaui hal-hal yang selalu terlihat sempurna saat disentuhnya. Aku
memang tak pernah melihat buku rapornya, tapi dari raut wajahnya aku bisa
menebak seberhasil apa dia di semua bidang. Kecuali olahraga sepertinya, sebuah
pengecualian.
Predikatnya
yang direndahkan orang-orang di sekelilingnya tak membuatnya bergeming
sedikitpun dari sikap duduk diam dan tenang. Mungkin dia punya kekuatan super
untuk tidak memperdulikan hal apapun. Hanya itu jawaban logis yang kudapatkan
tiap kali dari kejauhan kudapati dia sedang asik merenung sambil membuka lembaran-lembaran
bukunya. Seolah-olah mereka berkomunikasi. Seolah-olah buku itu berteman
dengannya. Walau lelucon-lelucon konyol kerap didapatinya selama jam istirahat
dan pulang sekolah, entah bagaimana dia bisa tetap terhanyut bersama tumpukan
buku-buku anehnya. Mungkin dia memiliki dunia sendiri yang tak terjamah oleh
tangan-tangan jahil dengan segala macam keisengan yang aku yakin dia pasti
sudah hafal betul, mengingat seberapa seringnya ia dipermainkan.
Dia memang sedikit berbeda dari yang lain, maksudku, tak
seperti kebanyakan anak laki-laki lainnya yang tak ada bosan-bosannya menegur
dengan antusias, atau mencoba membangun percakapan dan berseda gurau. Setahuku
hanya satu kata yang pernah dia ucapkan padaku, “maaf”, itupun karena aku tak
sengaja memotong jalannya sampai buku-buku bawaannya berjatuhan di lantai.
Dia
begitu menikmati hidupnya yang berat. Dihujani cemooh setiap harinya. Tapi dia
masih saja bisa tersenyum ketika mengusap lembut permukaan kasar bukunya yang
tak pernah berdebu. Pola pikir macam apa yang dia miliki? Apa menurutnya
kebahagiaan hanya sesedarhana membaca buku klasik? Bagaimana dia bisa merasa
begitu bahagia dengan hal-hal sederhana yang bahkan menurutku sangat sepele. Sedangkan
aku, aku harus menyelesaikan gunungan tugas dari tiap-tiap guru mata pelajaran
untuk mencapai setitik kebahagiaan mendapat nilai terbaik. Ah, he’s my kryptonite. Otakku serasa
terkuras habis kapasitasnya hanya untuk mengamati pola pikirnya.
Setumpuk
kata tanya berbaris di kepalaku siang ini, di bawah pohon tua yang hampir habis
dimakan usia. Apa yang membedakan dia dengan ku sehingga mata kami berbeda? Apa
yang salah? Bagaimana bisa ada yang salah? Di mana letak kesalahan yang aku
perbuat? Kenapa.... kenapa aku terlalu perduli soal ini? Gumamanku terhenti
ketika diajak berpikir lebih dalam oleh pertanyaan terakhir tadi. Kenapa harus
perduli padanya, ah bukan, kenapa harus tertarik padanya. Ya, aku tertarik
dengan caranya berteman. Walaupun bukan dengan manusia, setidaknya dia memiliki
teman yang bisa mengerti perasaannya. Mungkin buku itu tidak bisa mengerti
perasaan manusia, tetapi dia sangat yakin jika buku itu juga merasakan
kepedihannya. Hanya perlu seperti itu dan dia merasa bahagia. Jangan bertanya
soal teman-temanku. Mungkin mereka sekarang sedang mengelilingi pusat
perbelanjaan atau menyedot sari kelapa muda bersama turis-turis mancanegara.
Dan itu tidak bisa membuat mereka mengerti sedikitpun tentang isi kepalaku.
Aku memandanginya dari balik antrian panjang di kantin
sekolah. Menontonya dikerjai habis-habisan oleh berandalan-berandalan kaya di
meja makannya. Aku terhanyut. Di balik tumpukan-tumpukan buku yang menutupi
separuh wajahnya, aku masih bisa melihat sekilas bola mata coklat tua
bersemburat emas dengan sorotan yang tajam. Kepedihan dan penghinaan mungkin
menjadi pengasah yang baik selama hampir tiga tahun ini. Walaupun diselimuti
kacamata tebal yang kerap menyilaukan tetap saja mat... eh, gawat, dia melihat
ke sini. Ah, hampir. tidak lucu rasanya dipergoki orang yang sedang diam-diam kita
perhatikan. Oh, I really hate that awkward slowmotion moment. Aku membalik
badan dan duduk di kursi yang memunggunginya. Cukup beruntung kali ini aku
sendirian. Tanpa teman-temanku yang sangat ribut dan tak bisa duduk dengan
rapi, aku tak akan bisa menikmati makan siang sambil mengamati tingkah uniknya.
Yang ku maksud unik adalah bagian di mana dia masih bisa menikmati santap siang
tanpa terganggu sedikitpun dengan lemparan botol plastik atau semacamnya. Oh,
aku bahkan tak bisa mengunyah jika ada yang berbicara di dekatku.
Kembali ke balik dedaunan rimbun di bawah pohon tua tadi,
hari ini aku resmi merasa kesepian. Monolog yang sedari tadi kubuat seolah-olah
menambah rangsangan ke otak untuk menyadarkann betapa membosankannya hari ini.
Sinar matahari melarangku melangkah ke ruang kesenian, padahal kelas paduan
suara sudah dimulai sepuluh menit yang lalu. Biasanya aku akan sangat antusias
untuk ikut melatih vokal. Bukan masalah minat atau bakat. Setidaknya aku bisa
mengamati sosok misterius yang sangat dingin itu satu jam lebih lama dari hari
biasanya. Kelas jurnalnya yang berseberangan dengan ruang kesenian tak jarang
memberikanku kesempatan untuk mencari tahu tentangnya lebih banyak.
Walaupun
hanya dalam diam, entah kenapa perasaan kecil ini terus tumbuh membesar,
membelah, dan semakin banyak tiap harinya. Seperti pohon-pohon yang tinggi
menjulang di tengah belantara kalimantan. Mereka tumbuh tanpa perawatan. Sama
seperti perasaan ini, yang tumbuh hanya dengan mengikuti kehendak alam, tanpa
ada yang berani memulai untuk perduli dan merawatnya. Ini bukan perasaan
kasihan, atau bahkan kasih sayang. Mungkin ini perasaan iri yang tumbuh semakin
tinggi, seiring semakin tingginya taraf-taraf kebahagiaan yang terpaku di
langit.
"thanks to Ms. Green, who let me made a sequel of her old story. very enjoying to write and explore many things about this rare idea. feel so glad that i can learn about the other writer mindset. oh, if i can eat your brain, miss. read the another story of this at here."
"thanks to Ms. Green, who let me made a sequel of her old story. very enjoying to write and explore many things about this rare idea. feel so glad that i can learn about the other writer mindset. oh, if i can eat your brain, miss. read the another story of this at here."
I won't let you eat my brain! Happy to see someone wrote a sequel from my story! Absolutely i will read another story. If you dont mind, may i have a cup of mochacinno? I will so enjoy read your blog when i have a cup of coffee in my hand. Thankyou, before. Just keep writing!
ReplyDeletemy pleasure, after! try to move it to your forehead for five minutes. tell me if you already done.
Delete