untuk perempuan dengan
secangkir cokelat panas,
Apa
kamu sudah lelah menunggu? Kepulan uap yang sedari tadi menemanimu mulai
menipis. Cokelat panas itu sudah jenuh menunggu sambutan bibir pemesannya. Apa yang
kamu tunggu orang yang sama dengan kemarin? Bukankah ia tak pernah mengisyaratkan
akan kedatangannya? Lantas apa yang dinanti?
Samar-samar
aku mendengar dengusan napas. Tapi, telingaku tak menangkap nada-nada keluhan
yang mengalun. Kamu hanya menadahkan tangan sebelah kiri untuk melihat arloji
tua. Ini kali ke sembilan sejak tirai pintu masuk dibuka dan kamu mulai
menunggu dengan tenang. Setenang buih-buih di dalam cangkir yang menghilang
sedikit demi sedikit.
Hari
ini aku tak melihat topi dengan pinggiran lebar yang biasa kamu pakai. Aku memang
belum lama tinggal di negeri ini. Tapi yang aku tahu, di sini seorang wanita
dikatakan berpakaian lengkap apabila memakai topi dan sarung tangan, bukan? Apa
mungkin di sini seorang wanita juga bisa merasa gerah menyelimuti diri dengan
segala tradisi keanggunannya? Asal itu bisa membuat iris mata kebiruanmu
bersanding dengan awan senja, aku tak akan memperdulikannya.
Apa kamu masih mau menunggu? Ketika orang yang
kamu tunggu hanya menyisakan lubang-lubang di sekujur tubuh dan goresan bekas
bayonet di sepanjang arterinya, apa kamu masih sanggup menunggu? Jiwaku dipaksa
terbang saat kutarik lepas tangan sebelah kanannya dari balik bongkahan batu
yang menghempas setelah dilemparkan setinggi puluhan kaki oleh
proyektil-proyektil besar. Bahkan sampai akhir napasnya pun, aku masih menjadi
sahabat yang menyusahkan.
Aku
dipulangkan setelah tak sanggup lagi melihat darah. Aku kembali dari garis
depan ke tempat di mana aku pertama kali bertemu dengan kalian—sepasang manusia
dengan kehidupan sederhana namun sesempurna cinta. Aku pulang dengan mengunyah peluru
di mulut. Yang bisa kuberikan hanya kalung dengan sepotong tembaga bertuliskan
namanya.
Apa
kamu sudah siap untuk menunggu lebih lama, wanita tanpa topi dan teh?
No comments:
Post a Comment